Asuransi merupakan suatu akad yang mewajibkan perusahaan asuransi untuk memberikan sejumlah harta kepada nasabah ketika terjadi musibah seperti kecelakaan atau kebakaran, sesuai kesepakatan dalam akad. Nasabah membayar premi secara rutin atau kontan, dan perusahaan akan memberikan imbalan berupa uang atau ganti rugi barang di saat dibutuhkan. Dengan kata lain, asuransi adalah salah satu cara untuk memberikan ganti rugi kepada pihak yang mengalami musibah, dengan dana yang diambil dari iuran premi seluruh peserta.
Namun, pada Muktamar Ke-14 Nahdlatul Ulama di Magelang pada 1 Juli 1939, Forum Bahtsul Masa’il memutuskan bahwa akad asuransi haram, baik dalam bentuk harta maupun jiwa. Dalam pandangan ulama, asuransi rumah dianggap sebagai transaksi judi. Hal ini dijelaskan dalam Kitab al-Nahdlatul Islamiyah, di mana asuransi dianggap mirip dengan pemberian kupon yang tidak memberikan kepastian keuntungan. Nasabah dijanjikan mendapatkan jaminan rumah jika terjadi kebakaran, tetapi selama menempati rumah, mereka harus membayar premi yang ditetapkan perusahaan asuransi. Ini dianggap judi karena tidak ada kepastian siapa di antara kedua pihak yang akan memperoleh keuntungan.
Ketika akad asuransi semakin meluas, pada Konferensi Besar Pengurus Syuriah NU ke-1 di Jakarta pada April 1960, keharaman akad asuransi ditekankan kembali, terutama terkait dengan jiwa. Majelis Musyawarah menegaskan bahwa mengasuransikan jiwa di kantor asuransi adalah haram karena termasuk judi. Syeikh Bakhit, seorang Mufti Mesir, mengungkapkan bahwa asuransi jiwa jauh dari akal sehat dan hanya memberikan janji keamanan tanpa adanya kepastian.
Ulama menyatakan bahwa setiap pernyataan dalam akad asuransi mengandung klaim denda terhadap satu pihak tanpa kepastian mengenai penggantian yang sepadan. Dalam Islam, seharusnya ada keseimbangan dalam transaksi agar keadilan tercapai. Jika salah satu pihak melakukan klaim denda tanpa memberikan keuntungan kepada yang lain, maka ini tidak mencerminkan keadilan dan dianggap judi.
Syeikh Bakhit menekankan bahwa hukum Allah harus berlandaskan keseimbangan antara manfaat dan mudharat. Jika manfaat lebih besar, maka hal itu dihalalkan; jika mudharat lebih besar, maka diharamkan. Pada Munas Alim Ulama Lampung tahun 1992, asuransi harta dan jiwa diperbolehkan dengan syarat ketat. Asuransi kerugian hanya diperbolehkan untuk objek yang menjadi agunan bank atau terkait dengan ketentuan pemerintah, seperti barang impor dan ekspor.
Asuransi jiwa hukumnya haram kecuali jika mengandung unsur tabungan. Dalam hal ini, nasabah berniat menabung ketika membayar premi kepada perusahaan asuransi, dan perusahaan berkomitmen untuk menyimpan uang tersebut sesuai syariat. Selain itu, para ulama secara mutlak membolehkan praktik “asuransi sosial” yang memberikan jaminan kepada masyarakat dan diselenggarakan oleh pemerintah, seperti asuransi kecelakaan lalu lintas dan asuransi kesehatan. Asuransi sosial dapat mencakup asuransi kerugian dan jiwa.