Tasu’a berasal dari bahasa Arab “tis’a,” yang berarti sembilan, sementara ‘asyura berasal dari “asyara,” yang berarti sepuluh. Puasa Tasu’a dan ‘Asyura dilaksanakan pada tanggal 9 dan 10 Muharram dalam kalender Hijriyah. Pada tahun 1428 H, puasa Tasu’a dan ‘Asyura jatuh pada hari Ahad dan Senin, yaitu 28 dan 29 Januari 2007 M. Hukum puasa ini adalah sunnah; dianjurkan untuk dilakukan, tetapi tidak berdosa bagi mereka yang tidak melaksanakannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Puasa itu bisa menghapuskan dosa-dosa kecil pada tahun kemarin.” (HR Muslim).
Puasa ‘Asyura telah dilaksanakan oleh masyarakat Quraisy di Makkah pada masa jahiliyyah. Rasulullah SAW juga menjalankannya ketika masih berada di Makkah maupun setelah hijrah ke Madinah. Diriwayatkan oleh Imam Muslim bahwa Rasulullah pernah menerima protes dari umat Islam di Madinah yang mengatakan, “Ya Rasulallah, hari itu (‘Asyura) diagungkan oleh Yahudi.” Mereka mempertanyakan mengapa umat Islam melakukan hal yang sama dengan Yahudi. Rasulullah kemudian menjawab, “Di tahun depan, insya Allah, kita akan berpuasa pada tanggal 9.” Sayangnya, sebelum tahun tersebut tiba, Rasulullah sudah wafat.
Al-Hafidz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa keinginan Rasulullah untuk berpuasa pada tanggal 9 bertujuan agar umat Islam tidak melakukan puasa persis seperti yang dilakukan oleh Yahudi dan Nashrani (Fathul Bari 4: 245).
Ketika tiba di Madinah, Rasulullah melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada hari ‘Asyura. Ketika ditanya tentang puasa tersebut, mereka menjawab, “Ini adalah hari yang baik, di mana Allah menyelamatkan Bani Israil dari musuh mereka, sehingga Musa berpuasa sebagai ungkapan syukur.” Mendengar itu, Rasulullah bersabda, “Aku lebih berhak terhadap Musa daripada kalian (Yahudi), maka kami akan berpuasa pada hari itu sebagai bentuk penghormatan kami terhadap hari ini.” (HR Bukhari).
Setelah wafatnya Rasulullah, hari ‘Asyura dijadikan oleh kelompok Syi’ah sebagai hari berkabung dan ungkapan duka cita atas kematian Sayyidina Hussein di Padang Karbala. Pada setiap hari ‘Asyura, kelompok Syi’ah memperingati kematian Hussein dengan cara berkumpul, meratap secara histeris, dan melakukan aksi pawai sambil melukai diri mereka.
Sebagai tanggapan terhadap tradisi tersebut, umat Islam lainnya merayakan hari ‘Asyura dengan cara yang berlawanan, menjadikannya sebagai hari raya dan pesta. Dua budaya yang berbeda ini semakin mencolok terutama pada masa dinasti Buwaihi (321 H-447 H.), di mana ketegangan antara Sunni dan Syi’ah sangat terasa.
Oleh karena itu, sebaiknya hari ‘Asyura dipenuhi dengan ibadah puasa sebagaimana yang dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Mengenai keutamaan puasa ‘Asyura, Ibnu Abbas menyatakan, “Saya tidak pernah melihat Rasulullah berpuasa pada suatu hari karena ingin mengejar keutamaannya selain hari ini (‘Asyura) dan tidak pada suatu bulan selain bulan ini (maksudnya: bulan Ramadhan).” (HR. Al-Bukhari).
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) merekomendasikan agar pada hari Tasu’a dan ‘Asyura, umat Islam di Indonesia memperbanyak istigfar (membaca astaghfirullahal adzim) sebagai permohonan ampun kepada Allah serta membaca hauqolah (la haula wala quwwata illa billahil ‘aliyyil adzim) sebagai pengakuan bahwa tiada daya dan kekuatan kecuali dengan izin Allah. Semoga Allah SAW menurunkan rahmat-Nya dan menghilangkan segala bencana.