- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Zakat Produktif: Meningkatkan Kesejahteraan Mustahiq

Google Search Widget

Mustahiq zakat atau penerima zakat harta benda (zakat maal) terdiri dari delapan asnaf, yaitu fakir, miskin, ‘amil (petugas zakat), mualaf qulubuhum (orang yang baru masuk Islam), riqab (orang yang telah memerdekakan budak), ghorim (orang yang berhutang), orang yang berjihad di jalan Allah (fi sabilillah), dan ibnu sabil (yang dalam perjalanan). Dari delapan asnaf ini, yang harus didahulukan adalah fakir dan miskin.

Fakir biasanya didefinisikan sebagai orang yang tidak memiliki apa-apa dan tidak bekerja, sementara orang miskin adalah mereka yang dapat mencukupi kebutuhan hidup diri dan keluarganya tetapi dalam keadaan serba kekurangan. Umumnya, zakat yang diberikan kepada mereka bersifat konsumtif, bertujuan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Namun, pendekatan ini kurang efektif untuk jangka panjang, karena bantuan berupa uang atau barang kebutuhan sehari-hari akan cepat habis, dan mereka akan kembali ke kondisi fakir atau miskin. Oleh karena itu, banyak pendapat yang menyarankan agar zakat disalurkan secara “produktif” sebagai modal usaha mereka.

Penyaluran zakat secara produktif sudah dilakukan pada masa Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah memberikan zakat kepada seseorang dan menyuruhnya untuk mengembangkannya atau disedekahkan lagi. Pihak yang dapat memberikan zakat secara produktif harus mampu membina dan mendampingi para mustahiq agar usaha mereka dapat berjalan dengan baik. Selain itu, perlu juga dilakukan pembinaan ruhani dan intelektual agar kualitas keimanan dan keislaman mereka meningkat.

Syekh Yusuf al-Qardhawi dalam bukunya Fiqh Zakat menyatakan bahwa membangun pabrik atau perusahaan dengan dana zakat juga diperbolehkan, dengan tujuan agar kepemilikan dan keuntungan dari usaha tersebut dapat digunakan untuk kepentingan fakir miskin sepanjang masa. Saat ini, peranan pemerintah dalam pengelolaan zakat banyak digantikan oleh lembaga-lembaga zakat atau badan amil zakat (BAZ).

Dalam Bahtsul Masail Diniyah Maudluiyyah pada Muktamar ke-28 Nahdlatul Ulama di Pondok Pesantren Al-Munawwir, Krapyak, Yogyakarta, pada 25-28 November 1989, dijelaskan bahwa penyaluran zakat secara produktif diperbolehkan untuk meningkatkan kehidupan ekonomi para mustahiq zakat. Namun, penting bagi calon mustahiq untuk mengetahui bahwa harta zakat yang mereka terima akan disalurkan secara produktif dan mereka harus memberi izin atas cara penyaluran tersebut.

Pengelolaan harta zakat oleh petugas penarik zakat dan imam/penguasa hanya diperbolehkan jika para calon penerima zakat telah setuju atau memberikan kuasa atas pengelolaan tersebut. Para ulama sangat berhati-hati agar harta zakat benar-benar sampai kepada mustahiqnya. Dengan kata lain, harus ada kesepakatan antara pengelola zakat dan para mustahiq sebelum zakat dapat disalurkan secara produktif untuk kepentingan mereka.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

June 26

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?