Rasulullah SAW bersabda: “Berpuasalah kamu karena melihat hilal (bulan) dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang, maka genapkanlah (istikmal) 30 hari.” Hadits ini menjadi dasar bagi Nahdhatul Ulama (NU), sebuah organisasi masyarakat Islam yang berhaluan ahlussunnah wal jamaah (ASWAJA), untuk mengikuti sunah Rasulullah dan para sahabatnya serta mengikuti ijtihad dari para ulama empat mazhab, yaitu Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali. Dalam hal penentuan awal bulan Hijriyah, NU mewajibkan penggunaan rukyatul hilal bil fi’li, yaitu dengan melihat bulan secara langsung.
Hukum rukyatul hilal adalah fardlu kifayah, yang berarti harus ada umat Islam yang melakukannya; jika tidak, maka umat Islam secara keseluruhan akan berdosa. Jika cuaca mendung atau menurut hisab hilal masih di bawah ufuk, warga nahdliyyin tetap melakukan rukyat untuk kemudian mengambil keputusan dengan menggenapkan bulan berjalan menjadi 30 hari. Hisab bagi NU berfungsi sebagai alat bantu dan bukan penentu awal bulan qamariyah. Hilal dianggap terlihat dan keesokannya ditetapkan sebagai awal bulan Hijriyah apabila memenuhi salah satu dari syarat berikut: (1) Ketika matahari terbenam, ketinggian bulan di atas horison tidak kurang dari 2° dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3°, atau (2) Ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 jam setelah ijtimak/konjungsi terjadi.
Ketentuan ini merujuk pada Taqwim Standard Empat Negara ASEAN yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS). Di sisi lain, organisasi Islam Muhammadiyah dan Persatuan Islam (Persis) juga mengakui rukyat sebagai penentu awal bulan Hijriyah. Namun, sejak tahun 1969, Muhammadiyah memilih untuk tidak lagi melakukan rukyat dan lebih memilih menggunakan hisab. Muhammadiyah berpendapat bahwa rukyatul hilal atau melihat hilal secara langsung adalah pekerjaan yang sangat sulit, sementara Islam merupakan agama yang tidak berpandangan sempit; oleh karena itu, hisab dapat digunakan sebagai penentu awal bulan Hijriyah.
Hisab yang dikemukakan oleh Muhammadiyah bukan untuk menentukan atau memperkirakan apakah hilal mungkin terlihat atau tidak, seperti yang dilakukan NU, tetapi digunakan sebagai dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus menjadi bukti bahwa bulan baru telah masuk. Setelah tahun 2002, Persatuan Islam (Persis) mengikuti langkah Muhammadiyah dengan menggunakan Kriteria Wujudul Hilal. Beberapa kelompok Muslim di Indonesia melalui organisasi-organisasi tertentu juga merujuk kepada negara Arab Saudi atau terlihatnya hilal di negara lain dalam penentuan awal bulan Hijriyah, termasuk penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri, dan Idul Adha. Cara ini dikenal dengan sebutan Rukyat Global. Penganut kriteria ini berpegang pada hadits yang menyatakan bahwa jika satu penduduk negeri melihat bulan, hendaklah mereka semua berpuasa meskipun yang lain mungkin belum melihatnya.