Deposito bank adalah istilah yang umum dikenal dalam dunia perbankan, di mana dana nasabah disimpan dengan penarikan yang sesuai dengan jangka waktu tertentu. Hal ini membuat ketersediaan dana tersebut mudah diprediksi. Menurut perundang-undangan Nomor 10 Tahun 1998, deposito didefinisikan sebagai simpanan berjangka yang penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan perjanjian antara nasabah dan bank.
Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal sebagai Al-Wadai’ Al-Mashrifiyah. Dalam definisinya, deposito merupakan uang yang dipercayakan oleh individu atau badan hukum kepada bank, di mana bank berjanji untuk mengembalikannya sesuai dengan ketentuan yang disepakati.
Islam mengatur semua aspek kehidupan manusia, termasuk praktik deposito. Beberapa cendekiawan Muslim berusaha untuk melakukan proses at-Takyif al-Fiqhi, yaitu menentukan hukum perkara baru dengan bersandarkan pada hukum lama dalam fiqih. Pertanyaannya adalah, akad fiqih apa yang dapat mengakomodasi dan melegitimasi praktik deposito ini?
Terdapat beberapa pendapat di kalangan ulama mengenai hal ini. Pendapat pertama menyatakan bahwa praktik deposito bank sama dengan akad wadi’ah (titipan) pada umumnya, di mana nasabah menitipkan uangnya kepada bank. Pendapat ini didasarkan pada kebiasaan depositor yang hanya menitipkan uang dan kehati-hatian bank dalam mengelola titipan tersebut. Namun, pendapat ini ditolak karena banyak depositor yang tidak memahami perbedaan istilah wadi’ah, qardh, dan dain. Kebanyakan depositor juga tidak akan menitipkan uang tanpa adanya jaminan, sehingga akad ini dianggap melanggar aturan wadi’ah yang bersifat yad amanah.
Pendapat kedua menyatakan bahwa praktik deposito bank sama dengan akad ijarah (sewa-menyewa), di mana depositor menyewakan uangnya kepada bank. Namun, ini juga ditolak karena tidak sah menyewakan sesuatu yang tidak dapat dimanfaatkan tanpa menghilangkan dzatiyahnya, seperti uang.
Pendapat ketiga berargumen bahwa praktik ini termasuk akad qardh (utang piutang), di mana depositor mengutangkan uang kepada bank dan bank wajib mengembalikannya pada waktu tertentu. Argumen ini didasarkan pada hilangnya kepemilikan nasabah ketika uang diserahkan kepada bank dan niat di balik akad tersebut. Namun, pendapat ini dibantah karena akad qardh seharusnya bersifat irfaq, sedangkan bank sebagai lembaga kaya tidak memerlukan bantuan dari depositor.
Pendapat keempat mengusulkan bahwa praktik ini termasuk akad ghair musamah, yaitu akad yang tidak memiliki padanan atau nama dalam fiqih klasik. Dalam hal ini, nasabah menyerahkan uang untuk dijaga, sedangkan bank menerima uang tersebut untuk dikelola.
Dari berbagai pendapat di atas, cenderung lebih tepat untuk memilih pendapat keempat, di mana realita praktik deposito tidak boleh dipaksakan untuk dicocokkan dengan hukum fiqih terdahulu, selama masih menghasilkan akad ghair musamah.