- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Peranan Hewan Kurban dalam Syiar Agama Islam

Google Search Widget

Surat Al-Hajj ayat 36 menjelaskan peranan hewan kurban dalam syiar agama Islam. Allah SWT menjadikan unta sebagai bagian dari syiar-Nya, yang mengandung banyak kebaikan dan manfaat bagi umat Islam. Hewan-hewan ini merupakan simbol pengorbanan dan ketaatan kepada Allah. Kebaikan yang terkandung tidak hanya berupa pahala dari Allah, tetapi juga manfaat langsung bagi masyarakat yang berpartisipasi dalam ibadah kurban.

Ayat ini mengajarkan agar nama Allah disebut ketika menyembelih hewan kurban, dilakukan dalam keadaan hewan berdiri dengan kaki-kaki yang terikat. Penyembelihan dengan menyebut nama Allah menunjukkan kesadaran dan keikhlasan dalam menjalankan perintah-Nya. Proses penyembelihan yang tertib dan sesuai syariat mencerminkan penghormatan terhadap makhluk Allah serta kepatuhan terhadap aturan yang telah ditetapkan dalam agama.

Setelah hewan kurban disembelih dan jatuh, Allah SWT memerintahkan untuk memanfaatkan dagingnya dengan sebaik-baiknya. Umat Islam dianjurkan untuk memakan sebagian daging kurban dan membagikan sebagian lainnya kepada orang yang membutuhkan. Baik orang yang merasa cukup dengan apa yang dimilikinya (tidak meminta-minta) maupun orang yang meminta-minta, keduanya berhak menerima bagian dari daging kurban. Hal ini mencerminkan semangat berbagi dan solidaritas sosial dalam Islam.

Di akhir ayat, Allah SWT menegaskan bahwa Dia telah menundukkan hewan-hewan kurban tersebut untuk kepentingan manusia agar mereka bersyukur. Penundukan ini menunjukkan kekuasaan Allah atas segala ciptaan-Nya dan kemudahan yang diberikan-Nya kepada manusia untuk melaksanakan ibadah kurban. Rasa syukur yang dimaksud adalah rasa syukur yang tulus kepada Allah atas segala nikmat dan karunia yang diberikan, serta kesadaran akan pentingnya berbagi dan peduli terhadap sesama.

Simak Firman Allah berikut:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنٰهَا لَكُمْ مِّنْ شَعَاۤىِٕرِ اللّٰهِ لَكُمْ فِيْهَا خَيْرٌۖ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللّٰهِ عَلَيْهَا صَوَاۤفَّۚ فَاِذَا وَجَبَتْ جُنُوْبُهَا فَكُلُوْا مِنْهَا وَاَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّۗ كَذٰلِكَ سَخَّرْنٰهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Wal-budna ja‘alnāhā lakum min sya‘ā’irillāhi lakum fīhā khair(un), fażkurusmallāhi ‘alaihā ṣawāff(a), fa iżā wajabat junūbuhā fa kulū minhā wa aṭ‘imul-qāni‘a wal-mu‘tarr(a), każālika sakhkharnāhā lakum la‘allakum tasykurūn(a).

Artinya: “Unta-unta itu Kami jadikan untukmu sebagai bagian dari syiar agama Allah. Bagimu terdapat kebaikan padanya. Maka, sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya, sedangkan unta itu) dalam keadaan berdiri (dan kaki-kaki telah terikat). Lalu, apabila telah rebah (mati), makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (tidak meminta-minta) dan orang yang meminta-minta. Demikianlah Kami telah menundukkannya (unta-unta itu) untukmu agar kamu bersyukur.”

Tafsir Ma’alim at-Tanzil fi Tafsir Al-Qur’an oleh Imam Abu Muhammad al-Baghawi menjelaskan bahwa Allah menciptakan unta untuk dimanfaatkan oleh manusia. Unta menjadi salah satu tanda kebesaran Allah yang ditunjukkan dengan menjadikannya hewan kurban. Pengorbanan ini merupakan ibadah yang sangat dihargai dan memiliki nilai spiritual tinggi dalam mendekatkan diri kepada Allah.

Imam Baghawi juga menjelaskan bahwa “budana” adalah bentuk jamak dari “badanah”, dinamakan demikian karena besar dan gemuknya. Yang dimaksud dengan “budana” adalah unta-unta besar yang sehat tubuhnya.

Atha’ dan as-Suddi berpendapat bahwa “budna” merujuk kepada unta dan sapi, sedangkan kambing tidak disebut badanah. Pendapat ini diperkuat oleh pandangan Ibnu Umar yang menyatakan bahwa “badanah” hanya mengacu pada unta dan sapi. Allah menjadikan hewan-hewan ini sebagai syiar-Nya, tanda-tanda agama-Nya, yang mencerminkan kebesaran dan kekuasaan-Nya melalui ciptaan-ciptaan-Nya.

Simak penjelasan Imam Baghawi berikut:

وَالْبُدْنَ، جَمْعُ بَدَنَةٍ سُمِّيَتْ بَدَنَةً لِعِظَمِهَا وَضَخَامَتِهَا يُرِيدُ الْإِبِلَ الْعِظَامَ الصِّحَاحَ الْأَجْسَامِ، يُقَالُ بَدَنَ الرَّجُلُ بُدْنًا وَبَدَانَةً إِذَا ضَخُمَ، فَأَمَّا إِذَا أَسَنَّ وَاسْتَرْخَى يُقَالُ بَدَنَ تَبْدِينًا. قَالَ عَطَاءٌ وَالسُّدِّيُّ: الْبُدْنُ [الْإِبِلُ] [٢] وَالْبَقَرُ، أَمَّا الْغَنَمُ فَلَا تُسَمَّى بَدَنَةً

Artinya: “Budna, jamak dari badanah, dinamakan demikian karena besar dan gemuknya. Yang dimaksud adalah unta-unta besar yang sehat tubuhnya.”

Rasulullah SAW juga menyebutkan dalam sebuah hadits bahwa seekor unta atau sapi bisa dijadikan kurban oleh tujuh orang. Jabir RA melaporkan bahwa ketika mereka menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah SAW, mereka menyembelih seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang. Hal ini menunjukkan fleksibilitas dalam pelaksanaan ibadah kurban dengan menggunakan hewan besar dan bernilai tinggi.

Sebagaimana hadits dari Jabir RA, yang diriwayatkan oleh Muslim:

عَنْ جَابِرٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُ قَالَ حَجَجْنَا مَعَ رَسُوْلِ اللّٰهِ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَنَحَرْنَا اْلاِبِلَ عَنْ سَبْعَةٍ وَالْبَقَرَةَ عَنْ سَبْعَةٍ.

Artinya: “Berkata Jabir RA, “Kami menunaikan ibadah haji bersama Rasulullah SAW, maka kami berkurban seekor unta untuk tujuh orang dan seekor sapi untuk tujuh orang.”

Namun, bagi sebagian orang, membeli unta atau sapi sebagai hewan kurban mungkin menjadi tantangan karena keterbatasan finansial atau ketersediaan hewan. Dalam kondisi seperti ini, Islam memberikan kemudahan bagi umatnya. Berdasarkan hadits dari Ibnu ‘Abbas RA, Nabi Muhammad SAW memberikan solusi bagi seseorang yang wajib berkurban tetapi tidak menemukan unta atau sapi untuk dibeli dengan menyarankan untuk mengganti hewan kurban tersebut dengan tujuh ekor kambing.

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللّٰهُ عَنْهُمَا اَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَتَاهُ رَجُلٌ فَقَالَ اِنَّ عَلَيَّ بَدَنَةً وَاَنَا مُوْسِرٌ وَلَا أَجِدُهَا فَأَشْتَرِيَهَا فَأَمَرَهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللّٰهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَبْتَاعَ سَبْعَ شِيَاهٍ فَيَذْبَحُهُنَّ.

Artinya: “Dari Ibnu ‘Abbas RA bahwa Nabi SAW telah didatangi seseorang, ia berkata, “Sesungguhnya telah wajib atasku menyembelih unta/sapi, sedangkan aku orang yang sanggup melakukannya, tetapi aku tidak mendapatkannya untuk kubeli. Maka Rasulullah SAW menyuruhnya membeli tujuh ekor kambing, kemudian ia menyembelihnya.”

Hadits ini memberikan petunjuk jelas bahwa Islam memperhatikan kondisi dan kemampuan seseorang dalam menjalankan ibadah. Nabi Muhammad SAW mengajarkan bahwa jika seseorang tidak dapat menemukan unta atau sapi, dia dapat membeli tujuh ekor kambing sebagai penggantinya.

Tafsir Al-Misbah oleh Profesor Quraish Shihab menjelaskan bahwa Surat Al-Hajj ayat 36 memberikan penekanan khusus pada penyembelihan unta sebagai kurban. Unta dipilih karena merupakan hewan terbesar di antara hewan-hewan kurban lainnya, sehingga memiliki nilai lebih dalam ritual penyembelihan. Ayat ini menegaskan bahwa unta adalah salah satu bentuk syiar atau lambang kebesaran Allah.

Dengan menyembelih unta, seseorang tidak hanya mendapatkan kebaikan duniawi berupa daging dan manfaat fisik lainnya, tetapi juga kebaikan ukhrawi berupa pahala dan kedekatan dengan Allah. Proses penyembelihan dilakukan dengan mengikat kaki kiri unta dan menyebut nama Allah, diikuti dengan ucapan “Bismillah, Allahu Akbar, Minka Wa Ilaika,” menandakan kesadaran penuh bahwa hewan tersebut berasal dari Allah dan kembali kepada-Nya.

Setelah unta disembelih dan jatuh mati, umat Islam dianjurkan untuk memanfaatkan dagingnya dengan memakan sebagian daging tersebut dan membagikan sebagian lainnya kepada orang yang rela dengan apa yang ada padanya, yaitu mereka yang tidak meminta-minta serta kepada yang meminta.

Penyembelihan ini bukan hanya sekadar ritual, melainkan juga merupakan bentuk syukur kepada Allah yang telah menundukkan unta bagi manusia, sehingga memudahkan mereka untuk mengendarai dan menyembelihnya. Dengan melakukan hal ini, umat Islam diingatkan untuk senantiasa bersyukur atas nikmat yang diberikan Allah.

Menurut Profesor Quraish Shihab, kata (بُدْنً) al-budn adalah bentuk jamak dari kata (بَدَنَةٍ) badanah, yang memiliki arti binatang besar. Kata al-budna ini memiliki dua pemahaman utama terkait jenis binatang yang dimaksud. Beberapa ulama menginterpretasikan al-budna secara terbatas hanya kepada unta, sementara ulama lain seperti Imam Malik memperluas pemahaman ini untuk mencakup sapi.

Alasan di balik pemilihan unta atau sapi sebagai bagian dari syiar adalah karena Allah telah mensyariatkan penyembelihan binatang tersebut dalam pelaksanaan ibadah haji atau pada saat Hari Raya Idul Adha. Binatang-binatang besar ini menjadi simbol ketaatan dan pengorbanan dalam menjalankan perintah Allah. Dengan demikian, penyembelihan hewan-hewan ini bukan sekadar ritual, melainkan sebuah tanda dari ketundukan dan ketaatan kepada Allah SWT serta merupakan bentuk konkret dari pelaksanaan ibadah yang disyariatkan dalam agama Islam.

Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tafsir Marah Labib menjelaskan Surat Al-Hajj ayat 36 menjelaskan tentang hewan kurban dan manfaat-manfaat di dalamnya. Ayat ini menekankan pentingnya menyebut nama Allah ketika menyembelih hewan kurban dalam keadaan tertentu.

Hewan-hewan tersebut membawa berbagai kebaikan baik secara agama maupun duniawi seperti susu, keturunan, bulu, dan kekuatan. Proses penyembelihan dilakukan dengan menyebut “Bismillah, Allahu Akbar” sebagai bentuk pengabdian dan pengakuan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah.

Mengenai jenis hewan kurban, dalam Mazhab Syafi’i istilah ini secara spesifik merujuk pada unta saja. Pendapat ini membatasi pengertian al-budna hanya pada satu jenis hewan. Sementara itu, dalam Mazhab Abi Hanifah, pengertian “al-budna” lebih luas mencakup tidak hanya unta tetapi juga sapi. Pandangan ini menunjukkan variasi dalam interpretasi hukum Islam yang memungkinkan penyesuaian dengan kondisi dan kemampuan umat.

Ayat ini juga menyoroti pentingnya penyembelihan dilakukan dengan menyebut nama Allah dan dalam kondisi tertentu. Hewan harus disembelih dalam posisi berdiri dengan satu kaki diikat, menunjukkan kesungguhan dan ketepatan menjalankan perintah Allah. Ungkapan “Bismillah, Allahu Akbar. Ya Allah, ini dari-Mu dan untuk-Mu” menggambarkan kesadaran penuh akan kedaulatan Allah atas segala ciptaan serta pengakuan bahwa kurban adalah bentuk pengabdian tulus dari hamba kepada Tuhannya.

Di akhir ayat, Allah SWT mengingatkan kembali tentang hikmah di balik ibadah kurban agar manusia bersyukur atas segala nikmat yang telah diberikan oleh-Nya. Ibadah kurban merupakan bentuk rasa syukur atas nikmat kesehatan, rezeki, dan kemampuan untuk melaksanakan ibadah.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

February 5

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?