Dalam pelaksanaan ibadah kurban, panitia yang dibentuk oleh ta’mir masjid, mushalla, instansi, dan pihak lainnya bertugas menerima amanat dari pihak yang berkurban (mudhahi) untuk melaksanakan penyembelihan hewan kurban, mengolah, dan membagikan dagingnya. Dalam pandangan fiqih, praktik ini dikenal sebagai wakalah, di mana panitia bertindak sebagai wakil dari pihak mudhahi (muwakil).
Umumnya, panitia mengambil sebagian dari daging kurban untuk dimasak dan dijadikan makan siang bagi semua panitia yang terlibat. Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana pandangan fiqih terkait praktik ini? Apakah hal ini bisa dibenarkan?
Pada dasarnya, panitia hanya bertindak sebagai penghubung dari mudhahi. Kewenangan panitia terbatas pada pelaksanaan amanah yang diberikan, yaitu penyembelihan hewan kurban, pengolahan, dan pembagian daging. Panitia tidak memiliki wewenang untuk melakukan tasaruf, termasuk memasak daging kurban untuk makan siang, kecuali jika mudhahi telah menentukan sejumlah daging untuk panitia. Dalam kasus tersebut, tindakan itu diperbolehkan.
Namun, Syekh Nawawi Banten dalam kitab Tausyih ala Ibni Qasim menyatakan bahwa menurut sebagian ulama, seseorang yang diamanahi untuk mendistribusikan daging aqiqah diperbolehkan mengambil sebagian daging untuk dirinya sendiri, asalkan jumlah yang diambil sesuai dengan kebiasaan yang berlaku, yaitu cukup untuk makan siang dan makan malam. Adat seperti ini masih dapat ditoleransi.
Artinya: “Apabila perwakilan itu dalam hal harta murni (maliyah mahdhah), seperti distribusi zakat, maka boleh melakukan perwakilan dalam hal ini secara mutlak, dan tidak boleh bagi wakil mengambil sesuatu darinya kecuali jika pemberi kuasa telah menentukan sejumlah bagian darinya. Namun, beberapa ulama mengatakan: ‘diperbolehkan bagi wakil yang mendistribusikan daging aqiqah untuk mengambil darinya sekedar cukup untuk makan siang dan malam dalam satu hari, karena adat mentoleransi hal tersebut.”
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa wakil tidak diperbolehkan mengambil sedikitpun dari apa yang diwakilkan kepadanya kecuali muwakil telah menentukan bagian tertentu atau jika sudah menjadi kebiasaan wakil mengambil bagian tersebut. Hal ini sejalan dengan penjelasan Abu Ishaq:
“Dan wakil tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tasaruf kecuali apa yang diizinkan oleh pemberi kuasa baik dari sisi ucapan maupun dari sisi kebiasaan. Karena tasarufnya adalah berdasarkan izin, maka ia tidak memiliki kewenangan tasaruf kecuali apa yang diizinkan.”
Dengan demikian, kebiasaan di mana panitia kurban memasak sebagian daging untuk makan siang dapat dibenarkan menurut pandangan fiqih dengan kadar yang secukupnya dan tidak berlebihan. Namun, sangat disarankan agar panitia meminta izin kepada mudhahi terlebih dahulu mengenai hal ini.
Permasalahan lain yang muncul adalah bagaimana jika kurban tersebut adalah kurban wajib, di mana ketentuannya menetapkan bahwa seluruh daging harus diberikan kepada orang-orang fakir dalam keadaan mentah. Mengingat tidak semua panitia termasuk dalam golongan fakir miskin, solusinya adalah memberikan sebagian kepada satu panitia yang fakir, kemudian daging tersebut dimasak agar bisa dimakan bersama seluruh panitia.
Artinya: “Dan sekalipun hanya diberikan kepada seorang fakir saja. Artinya, tidak disyaratkan untuk mensedekahkannya kepada sekumpulan fakir miskin, melainkan cukup diberikan kepada salah satu dari mereka saja. Hal ini karena boleh memberikan sebagian kecil darinya.”
Sebagai langkah kehati-hatian yang lebih baik, panitia dapat meminta biaya akomodasi untuk penyembelihan, pengolahan, dan pembagian daging kurban kepada para mudhahi. Dengan begitu, kebutuhan konsumsi dan kebutuhan lainnya dapat dialokasikan dari dana tersebut.