- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kesucian dalam Tawaf: Pandangan Ulama

Google Search Widget

Di antara hal yang sering mengganggu pikiran jamaah haji ketika melakukan tawaf adalah soal kesucian dari najis dan hadats, baik kecil maupun besar. Jamaah haji berusaha menjaga kesucian mereka dalam setiap aspek ibadah.

Ulama memiliki pandangan yang berbeda mengenai status hukum kesucian saat tawaf. Imam An-Nawawi menjelaskan beragam pandangan dari empat mazhab tentang kesucian dari hadats dan najis saat melaksanakan tawaf. Pertanyaannya adalah apakah kesucian ini menjadi syarat sah tawaf atau termasuk dalam kewajiban haji yang dapat diganti dengan pembayaran dam.

Imam An-Nawawi menyebutkan bahwa mazhab Syafi’i mensyaratkan suci dari hadats dan najis ketika tawaf. Pendapat ini juga dipegang oleh Imam Malik, sementara Al-Mawardi dan Ibnul Mundzir mengutip pendapat serupa dari jumhur ulama. Berbeda dengan Abu Hanifah yang menyatakan bahwa kesucian dari hadats dan najis bukanlah syarat tawaf; sehingga jika seseorang melakukan tawaf dalam keadaan berhadats kecil atau junub, tawafnya tetap sah.

Diskusi mengenai kategori suci ini berlanjut pada pertanyaan apakah suci dari hadats kecil atau besar termasuk dalam kewajiban haji. Jika suci saat tawaf dianggap sebagai wajib haji, maka jamaah yang bertawaf dalam kondisi berhadats atau najis tanpa mengulangnya akan terkena dam.

Walaupun terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai kewajiban suci saat tawaf, mereka sepakat bahwa kesucian bukan bagian dari syarat sah tawaf. Ini berarti seorang jamaah haji dapat melakukan tawaf dalam kondisi hadats dan tetap sah tawafnya, karena kesucian bukan syarat sah tawaf.

Bagi ulama yang mewajibkan kesucian saat tawaf, mereka berpendapat bahwa jamaah yang melakukan tawaf dalam keadaan hadats kecil wajib membayar dam seekor kambing. Jika dalam keadaan hadats besar, ia wajib membayar dam unta dan mengulangi tawaf setelah suci selama masih berada di Makkah.

Imam Ahmad memiliki dua riwayat pendapat terkait hal ini. Riwayat pertama sejalan dengan pandangan mazhab Syafi’i mengenai kesucian saat tawaf. Riwayat kedua menyatakan bahwa jika jamaah masih berada di Makkah, mereka boleh mengulang tawaf dalam kondisi suci, tetapi jika sudah kembali ke Tanah Air, maka mereka wajib menyempurnakannya dengan dam.

Imam Dawud berpendapat bahwa kesucian saat tawaf adalah wajib. Jika seorang jamaah melakukan tawaf dalam keadaan berhadats kecil, itu dianggap sah kecuali dalam keadaan haidh. Sementara itu, Al-Manshuri, pengikut Imam Dawud, berpendapat bahwa kesucian merupakan syarat tawaf seperti pandangan mazhab Syafi’i.

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menjelaskan bahwa perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang kesucian saat tawaf berasal dari pemahaman hadits Sayyidatina Aisyah ra, di mana Rasulullah saw memerintahkan Aisyah untuk tidak melakukan tawaf hingga ia suci.

Hadits ini menunjukkan bahwa hadats dapat merusak tawaf sehingga tawaf harus dilakukan dalam keadaan suci. Namun, sekelompok ulama Kufah tidak menganggap suci sebagai syarat tawaf. Beberapa ulama berpendapat bahwa jika seorang wanita bertawaf tiga kali lalu datang haidh, maka tawafnya sudah dianggap sah.

Imam Syamsuddin Muhammad Ar-Ramli mencatat bahwa hanya Imam Abu Hanifah yang berpendapat bahwa kesucian bukan syarat sah tawaf. Sementara itu, para pengikutnya berbeda pendapat tentang kewajiban suci dan dam bagi jamaah yang bertawaf dalam kondisi hadats.

Menurut Ar-Ramli, meskipun Imam Abu Hanifah sendiri dalam pandangannya, satu riwayat Imam Ahmad menyatakan bahwa kesucian saat tawaf adalah wajib haji yang dapat diganti dengan dam. Pendapat serupa juga ditemukan di kalangan ulama mazhab Maliki.

Dalam konteks ini, Allah memerintahkan di dalam Surat Al-Hajj ayat 29 agar orang-orang melakukan tawaf di Baitullah tanpa mensyaratkan suci di dalamnya. Dengan demikian, seseorang diperbolehkan melakukan tawaf meskipun dalam keadaan tidak suci dari hadats.

Senada dengan itu, Syekh As-Syarqawi menyatakan bahwa perempuan jamaah haji yang bermazhab Syafi’i dapat mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah mengenai suci yang hanya wajib dalam tawaf; sehingga aktivitas tawafnya dalam kondisi haid tetap sah meskipun ia akan terkena dam.

Dengan demikian, perbedaan pendapat mengenai kesucian saat tawaf mencerminkan kompleksitas pemikiran ulama dan kebutuhan untuk memahami konteks serta prinsip-prinsip syariat dalam pelaksanaan ibadah haji.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 22

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?