Ibadah haji memiliki ketentuan yang meliputi syarat wajib, rukun, sunnah, dan larangan. Keabsahan ibadah haji seseorang sangat bergantung pada sejauh mana jamaah memenuhi ketentuan tersebut, terutama syarat dan rukun, serta menjauhi larangan yang ada. Salah satu syarat utama untuk melaksanakan ibadah haji adalah istitha’ah, yaitu kemampuan dalam berbagai aspek, seperti kemampuan materi untuk biaya haji dan biaya keluarga yang ditinggalkan, kesehatan fisik yang baik, serta rasa aman selama berada di Tanah Suci.
Transportasi, menu konsumsi, akomodasi, visa, dan tasreh haji tidak termasuk dalam ketentuan yang mempengaruhi sah atau tidaknya ibadah haji secara syariat.
Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) telah membahas hukum berhaji dengan visa non-haji dalam sebuah musyawarah di Jakarta. Dalam putusan tersebut, ibadah haji yang dilaksanakan dengan visa non-haji dianggap sah secara syariat, namun tetap dianggap cacat dan jamaah tersebut berdosa. Hal ini disebabkan karena visa haji bukanlah bagian dari syarat-syarat dan rukun-rukun ibadah haji. Larangan dari pemerintah Arab Saudi dalam hal ini bersifat eksternal.
Ibadah haji tanpa mengikuti prosedur yang benar dianggap cacat karena melanggar aturan syariat yang mewajibkan ketaatan kepada ulil amri serta memenuhi perjanjian. Jamaah haji yang tidak menggunakan visa haji melanggar prinsip-prinsip syariat yang mengharuskan mematuhi perintah pemerintah baik Arab Saudi maupun Indonesia, termasuk larangan untuk berhaji tanpa visa.
Larangan tersebut sah menurut syariat dan logika sehat, sehingga wajib dipatuhi oleh semua pihak.
Sebagaimana tercantum dalam Al-Qur’an: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (Surat An-Nisa ayat 59).
Praktik haji menggunakan visa non-haji bertentangan dengan syariat. Melaksanakan ibadah haji dengan cara ini dapat membahayakan diri sendiri maupun jamaah lainnya. Haji tanpa prosedur berpotensi menimbulkan masalah karena kapasitas tempat pelaksanaan manasik haji yang terbatas dibandingkan jumlah umat Islam yang ingin melaksanakan ibadah ini.
Jika otoritas Saudi tidak melakukan pembatasan, kepadatan akan terjadi, mengganggu keamanan dan keselamatan jamaah.
Dalam hadis disebutkan, “Tidak (diperbolehkan) menyengsarakan diri sendiri dan tidak (diperbolehkan) menimbulkan kesengsaraan terhadap orang lain.” (HR Ibnu Majah).
Berdasarkan hal tersebut, PBNU merekomendasikan agar pemerintah meningkatkan kesadaran masyarakat untuk tidak melakukan haji non-prosedural dan praktik ilegal lainnya. Sosialisasi ini merupakan bentuk amar ma’ruf yang dianjurkan oleh Islam.