Ibadah haji, yang merupakan rukun Islam kelima, sejatinya memiliki makna lebih dalam daripada sekadar hubungan antara seorang hamba dengan Tuhannya. Haji mengajarkan banyak pelajaran dan hikmah, termasuk pentingnya perhatian dan pemeliharaan terhadap lingkungan sekitar. Selama ini, pemahaman umat Islam tentang haji mabrur adalah haji yang diterima oleh Allah setelah menata niat serta memenuhi rukun dan syarat yang ditetapkan. Seseorang dikatakan telah melaksanakan haji yang diterima ketika ada transformasi akhlak menuju kebaikan. Pandangan ini memang benar adanya, namun sering kali umat Islam hanya terfokus pada hubungan akhlak dengan Allah dan sesama manusia, sementara akhlak terhadap alam dan lingkungan seringkali terlupakan.
Penting untuk dicatat bahwa ibadah haji tidak hanya terletak pada pelaksanaan rangkaian ritual sakral semata. Setiap Muslim seharusnya mampu memahami esensi besar di balik perintah dan larangan dalam ibadah ini. Salah satu larangan yang dijumpai adalah pengharaman membunuh hewan di Tanah Haram (Makkah dan Madinah) serta memakannya. Hal ini tercantum dalam kitab Fathul Qarib yang menyatakan bahwa membunuh hewan buruan darat yang halal dimakan adalah haram, termasuk menyentuh atau mengambil bagian dari hewan tersebut.
Larangan ini berdasarkan dua ayat dalam Al-Qur’an, yaitu surah Al-Maidah ayat 1 dan 96, yang menjelaskan bahwa hewan ternak dihalalkan, kecuali yang dilarang, serta dilarang berburu saat dalam keadaan ihram. Larangan ini berlaku tidak hanya di Tanah Haram, tetapi juga di luar kawasan tersebut selama seseorang dalam kondisi berihram. Bahkan setelah menyelesaikan ibadah haji, larangan yang sama tetap berlaku.
Menariknya, tidak hanya membunuh hewan buruan yang dilarang, tetapi juga merusak tanaman yang ada di daerah tersebut. Siapa pun yang melanggar akan mendapatkan dosa dan diwajibkan membayar kaffarat atau fidyah. Mengenai hewan laut, terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.
Rasulullah bersabda bahwa Makkah dan Madinah adalah tempat suci yang tidak boleh dilanggar, di mana semua bentuk pengrusakan dilarang kecuali dengan syarat tertentu. Hadis ini menjadi dasar bagi setiap individu untuk menjaga keseimbangan lingkungan. Ini dapat dipahami sebagai upaya penjagaan lingkungan yang diterapkan oleh Nabi di Makkah, yang kini dikenal sebagai konservasi lingkungan atau cagar alam.
Islam tidak hanya menginginkan perlindungan bagi manusia, hewan, dan tumbuhan dari kerusakan. Lebih dari itu, Islam berupaya menciptakan rasa aman dan nyaman bagi siapa pun yang memasuki Tanah Haram. Sejarah menunjukkan bahwa Nabi menetapkan daerah-daerah larangan untuk melindungi aliran air dan fasilitas umum.
Contoh nyata dari konservasi lingkungan adalah sumur zam-zam, yang dijaga secara turun-temurun dan menjadi salah satu daya tarik bagi para jamaah haji maupun umrah. Sumur ini tidak hanya memiliki khasiat, tetapi juga merupakan simbol pelestarian lingkungan yang telah dilakukan sejak zaman Abdul Muthallib.
Oleh karena itu, sangat penting bagi para jamaah haji untuk menyadari bahwa ibadah mereka di Makkah dan Madinah juga mencerminkan kesadaran akan pentingnya pelestarian lingkungan. Bukan hanya sekadar menikmati wisata religi, tetapi juga berkontribusi pada konservasi lingkungan baik flora maupun fauna serta menjaga keseimbangan ekologi.
Kesimpulannya, ibadah haji mengandung pesan penting agar setiap individu mencintai dan peduli terhadap lingkungannya. Hubungan baik dengan Allah harus diimbangi dengan relasi yang sehat terhadap lingkungan, menjadikan kita pribadi yang bermoral dan aktif dalam menciptakan lingkungan yang ramah.