Jamaah haji diwajibkan melakukan mabit di Muzdalifah setelah wukuf di Arafah. Proses mabit ini dilakukan setelah tengah malam pada hari Nahar (10 Dzulhijjah). Meskipun mabit di Muzdalifah dianggap penting, mayoritas ulama menyatakan bahwa hal ini bukanlah rukun haji.

Syekh Wahbah Az-Zuhaili mengumpulkan berbagai pendapat ulama mengenai mabit di Muzdalifah. Imam Malik berpendapat bahwa mabit di Muzdalifah berarti berhenti sejenak, seperti mampir untuk menurunkan kaki dalam perjalanan, menjamak dua shalat, serta makan dan minum. Ia menegaskan bahwa hukum menginap semalam suntuk di Muzdalifah adalah sunnah muakkad. Bagi jamaah yang tidak melakukan mabit, Imam Malik menyatakan bahwa mereka wajib membayar dam, sedangkan orang yang berdiam hampir sepenuh malam tidak diwajibkan membayar dam.

Ulama Hanafiyah memiliki pandangan bahwa diam di Muzdalifah adalah wajib meskipun hanya sesaat, walaupun hanya sekadar melintas. Mereka juga menganjurkan agar mabit di Muzdalifah dilakukan dengan baik.

Dalam pandangan ulama Syafiiyah dan Hanabilah, mabit di Muzdalifah dianggap cukup dengan berhenti sejenak setelah melewati tengah malam. Menurut ulama Syafiiyah, jamaah haji wajib mabit di Muzdalifah meski hanya sejenak setelah tengah malam. Jika jamaah berangkat sebelum tengah malam, mereka harus kembali untuk melaluinya. Jika tidak kembali hingga terbit fajar, maka mereka terkena kewajiban dam.

Kata “mabit” berarti berhenti atau diam di Muzdalifah meskipun hanya sesaat. Bahkan, cukup dengan sekadar melintas karena tidak ada perintah khusus untuk menginap di sana. Mabit di Muzdalifah tidak harus bermalam semalam suntuk, tetapi cukup hadir sejenak atau bahkan hanya melalui areanya saja, sama seperti wukuf di Arafah.

Terkait kebijakan mabit di Muzdalifah, jamaah haji Indonesia harus mengikuti agenda perjalanan haji yang telah ditetapkan oleh Kementerian Agama RI.