Menjaga diri agar selalu dalam keadaan suci dari hadas kecil maupun besar merupakan salah satu upaya yang sangat dianjurkan dalam Islam. Dalam keadaan suci, umat Islam akan selalu dekat kepada Tuhannya. Selain itu, kaum Muslimin bisa menunaikan ibadah apa saja, sesuai dengan waktu dan tempatnya. Oleh karena itu, menjaga diri agar terus suci adalah ajaran penting dalam Islam, terutama saat menjalankan ibadah haji, di mana para jamaah sangat ingin melaksanakan rukun Islam yang kelima ini dalam keadaan suci. Namun, beberapa alasan yang tidak bisa dihindari, seperti bersentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram saat tawaf, dapat membatalkan wudhu, menurut pendapat mayoritas ulama mazhab Syafi’i.
Salah satu penyebab batalnya wudhu yang paling dominan ketika mengerjakan tawaf dan rukun haji lainnya adalah persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Terdapat dua aspek yang perlu dibahas dalam konteks ini.
Pertama, orang yang disentuh (al-malmus). Dalam mazhab Syafi’i, persentuhan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram membatalkan wudhu untuk keduanya. Namun, ada pendapat dari sebagian ulama mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa hanya orang yang menyentuh (lâmis) yang batal wudhunya, sedangkan orang yang disentuh tidak. Pendapat ini didasarkan pada kenyamanan yang dirasakan oleh kedua belah pihak saat bersentuhan. Imam Jalaluddin Muhammad bin Ahmad al-Mahalli menjelaskan bahwa orang yang disentuh itu seperti orang yang menyentuh dalam membatalkan wudhunya, karena keduanya merasakan kenyamanan bersentuhan, sementara pendapat lain berpegang pada ayat Al-Qur’an yang hanya menyebutkan orang yang menyentuh.
Kedua, orang yang menyentuh (lâmis). Ulama mazhab Syafi’i sepakat bahwa wudhu orang yang menyentuh lawan jenis bukan mahramnya batal. Walau demikian, sebagian pendapat dalam kalangan mazhab Maliki dan Hanafi berargumen bahwa wudhu tidak batal. Imam Syamsuddin Abu Bakar as-Sarkhasi menjelaskan bahwa tidak wajib wudhu disebabkan mencium atau menyentuh wanita, baik dengan syahwat atau tidak.
Dari penjelasan tersebut, solusi bagi jamaah haji agar wudhunya tetap terjaga dan dirinya dalam keadaan suci adalah sebagai berikut: untuk orang yang disentuh (malmus), mengikuti pendapat ulama mazhab Syafi’i yang menyatakan bahwa hanya orang yang menyentuh saja yang batal wudhunya. Sedangkan bagi orang yang menyentuh, disarankan untuk mengikuti pendapat ulama dari mazhab Maliki atau Hanafi yang mengatakan bahwa persentuhan dengan lawan jenis tidak membatalkan wudhu.
Syekh Muhammad bin Ahmad bin Umar asy-Syathiri menegaskan bahwa jika terjadi persentuhan saat tawaf, bagi orang yang disentuh diperbolehkan mengikuti pendapat lain dalam mazhabnya, sementara orang yang menyentuh bisa mengikuti mazhab Imam Malik atau Abu Hanifah. Namun, bagi mereka yang mengikuti pendapat ini, wudhu mereka harus sah menurut mazhab yang diikuti. Misalnya, dalam mazhab Maliki diwajibkan untuk menggosok anggota wudhu secara cepat (muwalah) dan mengusap seluruh kepala. Sedangkan dalam mazhab Hanafi, harus mengusap seperempat kepala.
Kesimpulannya, jamaah haji yang ingin menjaga wudhunya tetap terjaga dan dalam keadaan suci dapat mengikuti pendapat ulama mazhab Syafi’i bahwa hanya orang yang menyentuh saja yang batal wudhunya. Untuk orang yang disentuh, mereka dapat mengikuti pendapat Imam Malik yang mengatakan bahwa wudhunya tidak batal dengan syarat tertentu. Dengan cara ini, jamaah haji dapat menjalankan ibadahnya dengan baik tanpa kehilangan keadaan suci.