Ihram adalah niat dalam hati untuk melaksanakan amalan ibadah haji atau umrah. Dalam niat ini, disunnahkan untuk melafalkan bacaan niat dan membaca Talbiyah setelahnya.
Ihram harus dilakukan pada waktunya. Jika ihram untuk haji, maka hal ini harus dilakukan di bulan-bulan haji, yaitu Syawal, Dzulqa’dah, dan sepuluh hari bulan Dzulhijjah. Apabila seseorang berihram haji di luar waktu tersebut, maka ibadah yang dilaksanakan dianggap sebagai umrah. Sementara itu, ihram umrah dapat dilakukan kapan saja, kecuali setelah Tahallul haji hingga Nafar dari Mina dan bagi orang yang sedang ihram haji.
Ihram dalam haji atau umrah serupa dengan niat yang dilakukan bersamaan dengan takbiratul ihram dalam shalat. Dengan melakukan niat dan takbiratul ihram, seseorang telah memulai shalat dan harus melaksanakan segala rukun shalat serta menghindari segala larangannya. Begitu juga dengan haji atau umrah; dengan melakukan ihram, seseorang telah masuk dalam rangkaian ibadah tersebut dan harus menjauhi segala hal yang dilarang bagi orang yang berihram.
Ihram harus dilakukan di miqat atau sebelum memasuki miqat tersebut. Bagi orang yang hendak haji tetapi belum berihram hingga melewati miqat, maka ia wajib membayar dam, kecuali jika ia kembali ke miqat untuk memulai ihram dari sana.
Dam bagi orang yang tidak ihram dari miqat setara dengan dam haji Tamattu, yaitu menyembelih seekor kambing. Jika tidak memungkinkan, maka puasa selama sepuluh hari bisa menjadi alternatif, dengan rincian 3 hari saat kondisi ihram sebelum Arafah dan 7 hari setelah kembali ke tanah air. Jika puasa juga tidak memungkinkan, maka puasa 10 hari bisa dilakukan di rumah dengan cara 3 hari puasa yang dipisah 4 hari, ditambah masa perjalanan normal pulang haji (2 hari), kemudian puasa 7 hari.
Munas Alim Ulama NU di Kaliurang Yogyakarta pada tanggal 30 Syawal 1401/30 Agustus 1981 memutuskan bahwa jamaah haji Indonesia yang langsung menuju Makkah sebaiknya melakukan niat ihram saat pesawat terbang memasuki daerah Qarnul Manazil atau Yalamlam. Jamaah juga bisa memilih miqat lain setelah mendapatkan penjelasan dari petugas pesawat udara.
Untuk memudahkan pelaksanaan, disarankan agar para jamaah mengenakan pakaian ihramnya sejak dari lapangan terbang Indonesia tanpa niat terlebih dahulu. Niat baru dilakukan pada saat pesawat memasuki daerah miqat. Namun, jika para jamaah ingin sekaligus niat ihram di Indonesia, hal itu juga diperbolehkan.
Niat ihram tidak diwajibkan dalam keadaan suci. Hal ini berdasarkan hadits:
الحائِضُ و النُّفَساءُ إذا أتَتَا على الوقتِ تغْتَسِلانِ و تُحْرِمانِ و تَقضيانِ المناسِكَ كلَّها غيرَ الطوافِ بالبيتِ
Artinya: “Orang yang haid dan nifas bila telah sampai waktu (yang sah untuk ihram) maka mereka mandi, berihram, dan melakukan semua amalan haji umrah selain tawaf mengelilingi Baitullah” (HR. Tirmidzi dan Abu Dawud dari Abdullah bin Abbas ra.). Imam Suyuthi dalam Jamius Shaghir memberi status hadits ini dengan hadits Hasan.
Dalam hadits riwayat Bukhari dan Muslim diceritakan, ketika Sayyidah Aisyah haid di Sarif (tempat sejauh 10 km dari Makkah), Rasulullah bersabda:
اصنعي ما يصنع الحاج غير أن لا تطوفي
Artinya: “Lakukanlah apa yang dilakukan oleh orang haji, hanya saja engkau jangan tawaf.”
Dalam hadits lain diceritakan bahwa Asma binti Umais saat perjalanan sampai Dzilhulaifah melahirkan Muhammad binti Abi Bakar. Beliau kemudian mengirim orang untuk bertanya kepada Rasulullah mengenai apa yang harus dilakukan. Saat itu Rasulullah saw menjawab:
اغتسلي واستثفري بثوب وأحرمي
Artinya: “Mandilah, balutlah dengan kain, dan jhramlah.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah).
Berdasarkan hadits-hadits di atas, jelas bahwa haid tidak menghalangi untuk melakukan ihram. Orang yang sedang haid atau nifas tetap boleh berihram. Bahkan bagi mereka tetap disunnahkan untuk mandi sebelum ihram. Mandi ini tetap sah meskipun dalam keadaan haid atau nifas karena tujuannya bukan untuk menghilangkan hadats, melainkan untuk membersihkan badan. Namun demikian, sebaiknya orang yang sedang haid atau nifas menunda ihram hingga suci jika memungkinkan, seperti keterangan berikut:
والأولى لهما تأخير الإحرام إلى طهرهما إن أمكنهما المقام بالميقات ليقع إحرامهما في أكمل أحوالهما اهـ شرح م ر.
Artinya: “Yang lebih baik bagi keduanya adalah mengakhirkan ihram sampai suci bila memungkinkan bagi mereka untuk berdiam di miqat supaya ihram mereka terlaksana dalam kondisi yang paling sempurna.” (Sulaiman Al Jamal, Hasyiyah ala Manhajit Thullab [Beirut, Darul Fikr, tt.), juz 2, hal. 412)
Satu-satunya amalan haji atau umrah yang harus dilakukan dalam kondisi suci adalah Tawaf. Oleh karena itu, seseorang harus menunggu hingga suci terlebih dahulu untuk melakukan tawaf atau setidaknya melakukannya saat darah tidak keluar, mengikuti pendapat sebagian ulama madzhab Syafi’i bahwa masa berhenti di antara darah haid dihukumi suci. Wallahu a’lam.