Salah satu rangkaian ibadah haji dan umrah adalah sa’i, yaitu berjalan dari bukit Shafa ke bukit Marwah sebanyak tujuh kali bolak-balik. Hitungannya dimulai dari Shafa ke Marwah, lalu dari Marwah ke Shafa, dan seterusnya hingga mencapai tujuh kali perjalanan. Mayoritas ulama sepakat bahwa sa’i termasuk salah satu rukun haji dan umrah yang jika ditinggalkan, bisa membatalkan ibadah tersebut.
Adapun syarat sahnya sa’i dapat diringkas sebagai berikut:
- Sa’i harus dilakukan setelah tawaf, baik itu tawaf qudum yang disunahkan untuk dilakukan oleh jamaah haji setelah tiba di Makkah, atau tawaf ifadah yang merupakan bagian dari rukun haji.
- Terdiri dari tujuh putaran, dimulai dari Shafa dan diakhiri di Marwah, dengan setiap putaran di antara keduanya dihitung sebagai satu putaran.
- Seluruh jarak antara Shafa dan Marwah harus ditempuh. Jika tertinggal sedikit darinya, walaupun kurang dari sejengkal tangan, maka putaran tersebut dianggap tidak sah. Oleh karena itu, kaki harus menempel pada dinding Shafa saat memulai, dan kemudian bergerak menuju Marwah, lalu kepala jari-jari kaki harus menempel pada dinding Marwah, dan begitu seterusnya.
- Sa’i harus dilakukan secara berkesinambungan dan tidak boleh ada jeda yang panjang antara putarannya. Jika ada jeda yang panjang, maka sa’i harus dimulai kembali dari awal.
Kemudian, apakah menaiki bukit Shafa dan Marwah merupakan syarat keabsahan sa’i? Menurut Imam An-Nawawi dalam Majmu’, pendakian ini bukanlah syarat wajib, melainkan sunnah muakkad. Namun, beberapa tangga mungkin baru, jadi hendaknya berhati-hati agar tidak meninggalkannya di belakang, karena sa’i tidak akan sah jika itu terjadi. Seharusnya seseorang naik tangga sampai yakin bahwa ia telah menyelesaikan seluruh jarak. Pendapat madzhab mengatakan bahwa ada pandangan yang menyatakan wajib untuk mendaki Shafa dan Marwah dengan jarak yang cukup pendek, dan sa’i tidak akan sah tanpa itu agar seseorang yakin bahwa ia telah menyelesaikan seluruh jarak.
Syekh Bakri Syatha dalam kitab I’anatut Thalibin menjelaskan bahwa sebaiknya naik bukit Shafa dan Marwah dalam melaksanakan sa’i meskipun itu tidak wajib. Hal ini dilakukan sebagai bentuk kehati-hatian dan untuk menghindari perbedaan pendapat antar ulama serta memastikan keabsahan sa’i.
Maka, dapat disimpulkan bahwa mendaki atau menaiki bukit Shafa dan Marwah dalam pelaksanaan sa’i bukan merupakan syarat, melainkan sebuah kesunnahan yang ditekankan. Namun demikian, sebagai bentuk kehati-hatian dalam beribadah, sebaiknya seorang yang melaksanakan sa’i untuk naik atau sedikit mendaki bukit Shafa dan Marwah guna menghindari perbedaan pendapat ulama dan memastikan bahwa sa’inya sah. Dengan demikian, kewajiban menempuh jarak antara Shafa dan Marwah benar-benar telah terpenuhi.