Pernikahan beda agama sering menjadi topik yang hangat untuk dibicarakan. Banyak yang beranggapan bahwa pernikahan semacam ini diperkenankan oleh negara dan agama. Dalam konteks hukum positif, sah atau tidaknya sebuah pernikahan sangat bergantung pada ajaran agama masing-masing, sebagaimana diatur dalam Undang-undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 2 Ayat (1).
Dari perspektif fiqih Islam, status pernikahan beda agama umumnya dinyatakan haram dan tidak sah. Hukum larangan ini tidak muncul begitu saja, melainkan dibentuk melalui dalil-dalil yang diolah dalam disiplin ilmu fiqih, khususnya yang berlandaskan kajian ushul fiqih. Dalam kajian ini, terdapat beberapa kaidah ijmaliyah (umum) yang menjadi dasar hukum larangan tersebut.
Salah satu kaidah tersebut adalah Takhsisul ‘Amm. Dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 221, Allah SWT menegaskan keharaman bagi muslim dan muslimah untuk menikahi orang-orang musyrik hingga mereka beriman. Namun, terdapat dua pendapat mengenai makna “musyrik” dan “musyrikat”. Pendapat pertama menyatakan bahwa istilah tersebut mencakup semua orang yang tidak beragama Islam, baik penyembah berhala maupun ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Berdasarkan pendapat ini, pernikahan beda agama antara laki-laki muslim atau perempuan muslimah dengan non-Muslim adalah terlarang, kecuali perempuan Ahli Kitab dari Yahudi dan Nasrani yang dikecualikan dalam surat Al-Maidah ayat 5.
Pendapat kedua berfokus pada perbedaan antara laki-laki musyrik dan perempuan musyrikah. Dalam pandangan ini, laki-laki musyrik termasuk penyembah berhala dan ahli kitab, sementara perempuan musyrikah hanya merujuk pada penyembah berhala. Oleh karena itu, pernikahan laki-laki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab dapat dibenarkan.
Kaidah kedua adalah Ijma’. Ijma’ merupakan metode pengambilan hukum berdasarkan kesepakatan para ulama setelah wafatnya Rasulullah SAW. Jika dilihat dari perspektif ijma’, terdapat tiga kategori pernikahan beda agama:
- Laki-laki kafir, termasuk ahli kitab: Ijma’ menyatakan bahwa pernikahan seorang muslimah dengan mereka adalah haram.
- Perempuan kafir selain ahli kitab: Pernikahan laki-laki muslim dengan perempuan kafir di luar ahli kitab juga ditetapkan haram.
- Perempuan kafir dari kalangan ahli kitab: Terdapat perbedaan pandangan di kalangan ulama mengenai hal ini. Namun, beberapa ulama menyatakan bahwa pernikahan dapat dibenarkan selama mereka tidak memerangi umat Islam.
Kaidah ketiga adalah Saddud Dzari’ah, yang berarti menghambat segala sesuatu yang dapat menyebabkan kerusakan. Pernikahan beda agama berpotensi menjerumuskan muslim dan muslimah dalam kerusakan agama, di mana wanita muslimah dapat mengikuti agama suaminya yang kafir. Selain itu, anak yang lahir dari pernikahan ini mungkin cenderung mengikuti agama ibunya.
Kesimpulannya, beberapa metode dan kaidah ijmaliyah dalam kajian ushul fiqih digunakan untuk mengharamkan pernikahan beda agama. Meskipun masih ada beberapa kaidah lain yang digunakan dalam pembahasan ini, seperti rukhsah, nasakh, al-‘am urida bihil khas, dan tarjih antara ayat, mayoritas ulama tetap berpegang pada pandangan yang mengharamkan pernikahan beda agama dalam berbagai bentuknya. Dengan kata lain, pernikahan beda agama dianggap haram dan tidak sah. Penetapan hukum ini sering kali menjadi bahan perdebatan, tetapi mayoritas ulama cenderung pada pendapat yang mengharamkan.