Kewajiban menjalankan haji ditujukan kepada setiap Muslim yang mampu secara fisik dan finansial. Namun, terdapat situasi di mana seseorang memiliki kemampuan finansial tetapi tidak dapat melaksanakan haji atau umrah karena alasan fisik. Dalam hal ini, kewajiban haji dapat digantikan oleh orang lain, sebagaimana dijelaskan dalam hadits berikut:
Dari Ibnu Abbas ra, seorang wanita dari suku Khasam pada tahun haji wada’ bertanya kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya Allah mewajibkan kepada hamba-Nya untuk melaksanakan haji, sedangkan ayahku sudah sangat tua dan tidak mampu naik kendaraan. Apakah saya boleh menghajikan dia?” Rasulullah menjawab: “Ya.” (HR. Bukhari Muslim).
Dalam mazhab Syafi’i, ada dua kondisi di mana haji atau umrah dapat dibadalkan oleh orang lain. Pertama adalah uzur (ma’dhub), yaitu ketika seseorang tidak mampu melaksanakan haji karena usia yang sudah lanjut, lumpuh, sakit tanpa harapan sembuh, pikun, atau kondisi lainnya yang menghalangi kemampuan fisik untuk menaiki kendaraan. Jika sebelum mengalami uzur tersebut, orang tersebut sudah memenuhi syarat mampu namun tidak melaksanakan haji, maka ia wajib untuk segera membadalkan hajinya. Syarat bagi orang dalam kategori ini adalah memiliki kelebihan dari kebutuhan pokok dan menemukan orang yang mau menghajikannya dengan upah yang wajar (ujratul mitsl).
Kedua, jika seseorang meninggal sebelum sempat menunaikan haji, maka ahli warisnya wajib menghajikannya. Biaya untuk menghajikan diambil dari harta warisan, sama halnya dengan pembayaran hutang yang harus dibayarkan dari harta tirkah (warisan). Apabila almarhum tidak memiliki harta warisan, maka ahli waris tidak diwajibkan untuk menghajikannya. Namun, jika ahli waris atau orang lain ingin menghajikannya, baik berdasarkan wasiat maupun tidak, itu diperbolehkan. Kewajiban menghajikan orang yang sudah meninggal ini berlaku jika semasa hidupnya ia telah memenuhi syarat untuk melaksanakan haji tetapi belum sempat melakukannya.
Dengan demikian, orang yang dapat membadalkan haji kepada orang lain terdiri dari:
- Orang yang mampu secara finansial tetapi tidak dapat secara fisik karena faktor usia, lumpuh, pikun, dan sebagainya, yang dalam fikih disebut ma’dhub.
- Orang yang meninggal dalam keadaan mampu dan seharusnya melaksanakan haji namun tidak sempat melakukannya.
Mengenai hukum laki-laki membadalkan haji untuk perempuan atau sebaliknya, Imam Syafi’i dalam kitab Al-Umm menyatakan bahwa hal ini diperbolehkan, meskipun beliau lebih menyukai agar badal haji adalah seorang laki-laki. Beliau menjelaskan:
“Jika seseorang dibayar untuk menghajikan orang lain dan ia merusak hajinya, maka ia harus mengembalikan seluruh upahnya karena ia merusak amal yang telah dibayar untuk itu. Jika kalian menghajikan (membadalkan) orang lain (laki-laki) kepada perempuan itu sudah mencukupi baginya. Melainkan laki-laki lebih aku sukai (menjadi badal haji). Jika kalian menghajikan seorang perempuan kepada laki-laki maka itu sudah mencukupi untuknya.”
Selaras dengan pendapat Imam Syafi’i, Syekh Syibromalisi dalam Hasyiyah atas kitab Nihayatul Muhtaj juga menyatakan: “Tidak disyaratkan orang yang menghajikan orang lain adanya kesamaan jenis kelamin. Maka telah mencukupi hajinya perempuan atas laki-laki seperti itu juga sebaliknya.”
Kesimpulannya, gender tidak menjadi syarat dalam membadalkan haji. Oleh karena itu, hukum laki-laki membadalkan hajinya kepada perempuan atau sebaliknya diperbolehkan. Namun demikian, Imam Syafi’i lebih menyukai agar badal haji adalah seorang laki-laki. Wallahu a’lam.