Tawaf merupakan salah satu ritual penting dalam ibadah haji dan umrah, di mana setiap umat Islam yang melaksanakan ibadah ini diwajibkan untuk mengelilingi Ka’bah di Masjidil Haram sebanyak tujuh kali putaran dengan arah berlawanan dari jarum jam. Tawaf bukan hanya sekadar kewajiban, tetapi juga simbol kesatuan umat Islam dalam menyembah Allah SWT.
Makna tawaf sangat dalam. Selain menjadi rukun haji dan umrah, tawaf mencerminkan penghormatan, pengabdian, dan ketundukan umat Islam terhadap perintah Allah. Melalui tawaf, jamaah haji diingatkan akan kebesaran dan keagungan-Nya, serta bahwa tujuan sejati hidup di dunia adalah untuk mencari ridha-Nya. Dalam Al-Qur’an surat Al-Hajj, Allah SWT berfirman:
وَلْيَطَّوَّفُوا بِالْبَيْتِ الْعَتِيقِ
Artinya: “Dan hendaklah mereka melakukan tawaf sekeliling rumah tua (Baitullah).” (QS Al-Hajj, [22]: 29).
Tawaf juga mengajarkan nilai-nilai kesabaran, ketabahan, dan keikhlasan. Pelaksanaan tawaf memerlukan mental dan fisik yang kuat untuk menyelesaikan tujuh putaran mengelilingi Ka’bah, sehingga sering kali jamaah melaksanakan tawaf dengan lari-lari kecil. Namun, bagaimana hukum melakukan tawaf dengan cara ini? Mari kita bahas lebih lanjut.
Lari Kecil saat Tawaf
Lari kecil saat tawaf bukanlah hal baru. Praktik ini telah ada sejak zaman Rasulullah SAW. Pada tahun ketujuh Hijriah, Rasulullah dan para sahabatnya melaksanakan umrah dan menghadapi anggapan orang-orang kafir Quraisy yang mengira bahwa mereka dalam keadaan lemah. Untuk menunjukkan kekuatan umat Islam, Rasulullah memerintahkan para sahabatnya untuk melakukan tawaf dengan lari kecil.
Kisah ini terdapat dalam riwayat Muslim dari Ibnu Abbas RA:
قَدِمَ رَسُولُ اللَّهِ وَأَصْحَابُهُ مَكَّةَ وَقَدْ وَهَنَتْهُمْ حُمَّى يَثْرِبَ…
Artinya: “Rasulullah SAW dan para sahabatnya datang ke Makkah dalam keadaan lemah karena penyakit demam (huma) Madinah… Maka berkatalah kaum musyrikin: ‘Inikah orang-orang yang kamu katakan lemah karena sakit demam, ternyata mereka lebih kuat dari golongan ini dan itu.” (HR Muslim).
Berdasarkan hadits tersebut, ulama mazhab Syafi’iyah menegaskan bahwa sunnah bagi orang yang melakukan tawaf untuk berlari kecil. Sunnah ini berlaku pada tiga putaran pertama, sedangkan empat putaran berikutnya disunahkan untuk berjalan biasa. Imam Nawawi menyatakan:
وَيُسَنُّ الرَّمْلُ فِي الطُّوْفَاتِ الثَّلاَثِ الْاَوَّلِ وَيُسَنُّ الْمَشْيُ عَلىَ الْهِيْنَةِ فِي الْآخِرَةِ
Artinya: “Disunnahkan lari kecil ketika melakukan tiga putaran tawaf yang pertama. Dan disunnahkan pula jalan biasa di (sisa tawaf) yang akhir.”
Selain itu, disarankan bagi jamaah yang sedang tawaf untuk mendekat kepada Baitullah saat melakukan lari kecil. Jika tidak memungkinkan karena kerumunan, tetap disarankan untuk berlari kecil dari tempat yang lebih jauh. Sayyid Murtadha az-Zabidi menjelaskan:
وَالْأَفْضَلُ الرَّمْلُ مَعَ الدُّنُوِّ مِنَ الْبَيْتِ فَاِنْ لَمْ يُمْكِنْ لِلزَّحْمَةِ فَالرَّمْلُ مَعَ الْبُعْدِ أَفْضَلُ
Artinya: “(Tawaf) yang paling utama adalah lari kecil sambil mendekat kepada Baitullah. Jika tidak mungkin karena berdesak-desakan, maka tetap lari kecil dari tempat yang jauh lebih utama.”
Kesimpulannya, lari kecil saat tawaf hukumnya dianjurkan (sunnah), tetapi hanya berlaku untuk tiga putaran pertama. Untuk empat putaran selanjutnya, disunahkan untuk berjalan biasa.