Baru-baru ini, muncul pernyataan dari salah satu akun dakwah di media sosial yang menyatakan bahwa shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki adalah wajib. Pernyataan ini didasarkan pada salah satu hadits yang tercantum dalam kitab Bulughul Maram, yang berbunyi: “Nabi saw bersabda, ‘Barangsiapa yang mendengar adzan, namun tidak mendatanginya maka tidak ada shalat baginya, kecuali ada udzur.’” (HR. Abu Daud no. 551, Ibnu Majah no. 793, dishahihkan oleh Ibnu Hajar dalam Bulughul Maram, 114).
Pendapat ini merupakan salah satu pandangan dalam mazhab Hanabilah, yang menganggap bahwa hukum shalat berjamaah adalah wajib atau fardhu ‘ain bagi laki-laki merdeka. Namun, terkait tempat pelaksanaannya, terdapat perbedaan riwayat di kalangan ulama Hanabilah. Satu riwayat menyatakan bahwa shalat berjamaah harus dilaksanakan di dalam masjid bagi orang yang dekat. Jika mereka tidak melaksanakan jamaah di masjid, maka dianggap berdosa meskipun shalatnya tetap sah. Sebaliknya, riwayat lain menyatakan bahwa jamaah boleh dilakukan di luar masjid.
Ibnu Qudamah menjelaskan dalam kitab Al-Mughni: “Boleh melakukan jamaah di rumah atau di padang pasir. Dikatakan, ada riwayat lain mengenai hal ini, yaitu wajib menghadiri masjid jika dekat dengannya.” (Ibnu Qudamah, Al-Mughni, [Beirut: Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2008], juz I, halaman 626).
Bagaimana dengan mazhab Syafi’i?
Melaksanakan shalat fardhu dengan berjamaah sangat dianjurkan dalam agama. Banyak hadits menjelaskan perintah untuk berjamaah. Namun, terdapat perbedaan pendapat tentang hukum shalat berjamaah. Pendapat pertama menyatakan hukumnya fardhu ‘ain seperti pendapat Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Mundzir. Pendapat kedua menyatakan hukumnya fardhu kifayah seperti pendapat mayoritas ulama dan merupakan nash Imam As-Syafi’i. Pendapat ketiga menganggap hukumnya sunah seperti pandangan Abu Hamid. Dalam kitab Fathul Mu’in dijelaskan bahwa pendapat yang kuat mengatakan shalat berjamaah hukumnya fardhu kifayah untuk laki-laki yang sudah baligh dan tidak sedang bepergian. Namun ada pula pendapat yang menyatakan bahwa shalat berjamaah menjadi syarat sahnya shalat.
Dalam pandangan mazhab Syafi’i, tidak ada kewajiban melaksanakan shalat berjamaah di masjid. Meski demikian, bagi laki-laki, tempat yang paling utama untuk melaksanakan shalat fardhu secara berjamaah adalah masjid. Hal ini disebabkan beberapa keunggulan, antara lain:
- Masjid adalah tempat yang mulia.
- Ada pahala bagi orang yang berjalan menuju masjid.
- Umumnya jamaah di masjid lebih banyak.
- Syiar jamaah akan lebih tampak.
Imam An-Nawawi menjelaskan dalam kitab Al-Majmu’: “As-Syafi’i dan murid-muridnya mengatakan bahwa mengerjakan shalat berjamaah bagi laki-laki di masjid lebih baik daripada di rumah, di pasar, dan tempat lainnya, karena hadits mengenai keutamaan berjalan ke masjid dan karena masjid lebih mulia serta dapat menampakkan syiar jamaah.”
Hadits yang dijadikan acuan kewajiban shalat berjamaah di masjid bagi laki-laki berbunyi: “Barangsiapa mendengarkan panggilan (azan), kemudian dia tidak datang, maka tidak ada shalat baginya kecuali karena uzur.” (HR Ibnu Majah, Ad-Daraquthni, Ibnu Hibban, dan Al-Hakim).
Ibnu Hajar Al-Asqalani menyebutkan bahwa status hadits ini diperselisihkan. Sebagian berpendapat ini adalah hadits marfu’, sedangkan yang lain menganggapnya hadits mauquf dari sahabat. Dari segi makna, terjadi perbedaan pendapat. Menurut Imam Ahmad bin Hanbal, hadits tersebut menunjukkan kewajiban shalat berjamaah. Namun para ulama penganut mazhab Hanbali memiliki pandangan berbeda; ada yang menyatakan shalat jamaah tidak wajib dilakukan di masjid.
Beberapa pakar hadits menyimpulkan bahwa hadits tersebut menunjukkan anjuran berjamaah, dan dapat dianggap sebagai kewajiban menurut sebagian ulama, tetapi tidak harus dilaksanakan di dalam masjid.
Berbeda dengan pendapat pertama, pandangan kedua dalam mazhab Hanbali menyatakan bahwa shalat berjamaah harus dilaksanakan di dalam masjid. Mereka mendasarkan pendapat ini pada hadits-hadits lain yang menyatakan bahwa “tidak ada shalat kecuali di masjid.”
Bagi kalangan Syafi’iyah, jika makna hadits dipahami sebagai kewajiban mendatangi masjid untuk shalat berjamaah dan jika tidak datang ke masjid maka shalatnya tidak sah, maka pemahaman ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama. Oleh karena itu, makna hadits harus diarahkan hanya sebatas keutamaan saja dan bukan kewajiban.
Simpulan dari pembahasan ini adalah bahwa pernyataan mengenai kewajiban jamaah bagi laki-laki di masjid dapat dibenarkan sebagai salah satu riwayat dalam mazhab Hanbali bagi mereka yang berada dekat dengan masjid. Sementara itu, mazhab Syafi’i yang dianut oleh mayoritas masyarakat Indonesia memandang bahwa shalat berjamaah di masjid merupakan anjuran dan bukan kewajiban.