Ibadah haji dan umrah merupakan kewajiban bagi umat Islam yang memenuhi syarat fisik dan finansial. Syarat ini dikenal sebagai istithaah, yang berarti mampu secara finansial untuk melakukan perjalanan pulang pergi. Namun, pertanyaan muncul ketika biaya untuk melaksanakan ibadah tersebut berasal dari hasil korupsi.
Secara fiqih, haji dan umrah sebagai ibadah harus dipisahkan dari harta haram yang digunakan untuk melaksanakannya. Dalam pandangan fiqih, yang dihukumi adalah zahirnya suatu ibadah. Jika ibadah dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun, maka ibadah tersebut dinilai sah. Meskipun demikian, penggunaan harta hasil korupsi jelas haram dan berdosa. Ini menjadi faktor eksternal yang tidak mempengaruhi keabsahan ibadah haji dan umrah.
Imam An-Nawawi dalam Majmu’ Syarah Muhadzab menyatakan bahwa jika seseorang berhaji dengan harta haram atau menggunakan kendaraan yang didapat secara zalim, ia akan berdosa, tetapi hajinya tetap sah dan mencukupi kewajibannya. Pendapat serupa juga dipegang oleh Imam Abu Hanifah, Malik, dan mayoritas ulama fiqih lainnya. Sebaliknya, Imam Ahmad berpendapat bahwa haji dengan harta haram tidak mencukupi kewajiban.
Syekh Nawawi Banten dalam Nihayatuz Zain menegaskan hal yang sama; melaksanakan haji atau umrah dengan harta haram adalah sebuah pelanggaran, namun kewajiban hajinya sudah gugur. Imam Zakariya al-Anshari membandingkan situasi ini dengan shalat di tempat yang diperoleh secara zalim atau mengenakan pakaian berbahan sutra bagi laki-laki. Meskipun shalatnya sah, tindakan tersebut tetap dianggap berdosa.
Harapan utama dari ibadah haji dan umrah adalah diterimanya ibadah tersebut di sisi Allah serta memperoleh derajat haji mabrur. Haji mabrur adalah haji yang diterima Allah dan memberikan dampak positif bagi diri sendiri dan orang lain. Salah satu syarat diterimanya haji adalah biaya yang digunakan berasal dari sumber yang halal, tanpa mencampurkan dengan harta syubhat, apalagi harta yang jelas haram seperti hasil korupsi.
Dalam Hasyiyah Bujairimi dijelaskan bahwa seseorang dianjurkan untuk memastikan harta yang digunakan untuk perjalanan adalah halal. Hadits menyebutkan bahwa jika seseorang berhaji dengan harta haram, malaikat akan menjawab “La labbaik, wala sa’daik” ketika ia melafalkan talbiyah, menandakan bahwa amalnya tidak diterima.
Syekh Wahbah az-Zuhaili menambahkan bahwa biaya perjalanan yang digunakan haruslah murni halal. Meskipun haji dengan biaya syubhat atau ghasab sah menurut jumhur ulama, tetapi tidak akan menjadi haji mabrur. Imam Ahmad menegaskan bahwa haji dengan harta haram tidak mencukupi kewajiban.
Singkatnya, haji atau umrah yang dilakukan dengan biaya hasil korupsi dianggap sah dan telah menggugurkan kewajiban menurut mayoritas ulama, kecuali Imam Ahmad bin Hambal yang berpendapat sebaliknya. Namun, pelaku tindakan tersebut tetap dinilai sebagai pelaku maksiat, dan ibadahnya tidak diterima oleh Allah. Hasilnya hanya akan menjadi lelah tanpa mendapatkan pahala di sisi-Nya.