Maraknya fenomena pengemis online di media sosial, terutama di platform seperti TikTok, Instagram, dan YouTube Shorts, menunjukkan perubahan perilaku warganet dalam mencari hadiah melalui konten giveaway. Banyak konten kreator yang mengharuskan pengikut untuk mengikuti tantangan tertentu, seperti berlangganan atau mengikuti akun mereka, sebagai syarat untuk mendapatkan hadiah.
Dampak dari fenomena ini sangat berpengaruh terhadap mentalitas warganet, terutama mereka yang belum memiliki pekerjaan. Banyak yang cenderung mengembangkan pola pikir meminta-minta untuk mendapatkan hadiah bernilai tinggi, seperti uang jutaan rupiah atau gadget terbaru. Mereka kemudian dikenal dengan sebutan “pengemis online”, yang menjadi polemik dalam masyarakat dan memerlukan kajian dari perspektif hukum fiqih.
Meminta-minta memiliki konotasi negatif karena dapat merendahkan martabat dan harga diri seseorang. Dalam konteks media sosial, tindakan meminta-minta dapat terlihat melalui niatan yang jelas atau sindiran dengan kata-kata kiasan, meskipun tidak secara langsung. Jika seseorang tidak memiliki niat meminta, maka apa yang diterima bisa dianggap sebagai sedekah atau hadiah, sebagaimana dijelaskan dalam karya Sulaiman bin Muhammad bin Umar Al-Bujairami.
Hadits Nabi Muhammad SAW menyatakan:
الْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنَ الْيَدِ السُّفْلَى
Artinya: “Tangan di atas (memberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (yang meminta).” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dalam hukum fiqih, asal hukum dari meminta-minta adalah tidak diperbolehkan (haram). Menurut Syaikh Muhammad bin Musa al-Damiri dalam kitab al-Najm al-Wahhâj fi Syarh al-Minhâj, Ibn al-Shalah berpendapat bahwa:
وقال ابن الصلاح: السؤال حرام مع التذلل والإلحاح وإيذاء المسؤول
Artinya: “Berkata Ibn al-Shalah: meminta-minta hukumnya haram apabila disertai dengan unsur menghinakan diri, dilakukan secara berulang kali dan menyakiti perasaan orang yang dimintai.”
Namun, meminta-minta dalam kondisi tertentu dapat dianggap bermaslahat jika seseorang benar-benar membutuhkan. Sebaliknya, jika seseorang sudah berkecukupan dari segi finansial dan pekerjaan, tindakan meminta-minta tersebut sangat tidak dianjurkan. Dalam keadaan darurat, seperti kelaparan atau ketidakmampuan untuk bekerja, meminta-minta bisa diperbolehkan. Namun jika dilakukan tanpa kebutuhan yang mendesak, maka hukumnya makruh jika tidak disertai penghinaan terhadap diri sendiri.
Dalam kitab Mauidzah al-Mu’minîn min Ihyâ’ Ulûm al-Dîn disebutkan bahwa:
نَعَمْ يُبَاحُ السُّؤَالُ بِضَرُورَةٍ أَوْ حَاجَةٍ مُهِمَّةٍ قَرِيبَةٍ مِنَ الضَّرُورَة
Artinya: “Ya benar, meminta-minta (mengemis) hukumnya haram, namun diperbolehkan hanya jika dalam keadaan darurat atau hajat yang penting.”
Menurut Imam al-Ghazali, alasan dasar mengapa meminta-minta itu haram melibatkan tiga hal:
- Mengeluh terhadap pemberian Allah.
- Menghinakan harga diri di hadapan manusia.
- Menyebabkan rasa tidak nyaman pada orang yang dimintai.
Dalam konteks pengemis online, banyak pengguna media sosial yang sebenarnya mampu bekerja tetapi memilih untuk meminta-minta demi mendapatkan barang-barang yang diinginkan. Hal ini menyebabkan penurunan martabat dan dapat mengganggu perasaan orang lain.
Secara keseluruhan, dari sudut pandang fiqih, tindakan meminta-minta di media sosial tidak dapat dibenarkan kecuali dalam situasi yang sangat mendesak. Ini menjelaskan pentingnya menjaga martabat dan harga diri sambil memahami batasan dalam melakukan permohonan kepada orang lain.