Beberapa kalangan sufi berpendapat bahwa amal ibadah yang dilakukan dengan mengharapkan pahala, atau karena takut akan siksa jika meninggalkannya, menunjukkan rendahnya kualitas amal seseorang. Pernyataan ini dikutip oleh Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad yang menyatakan bahwa ada pandangan dalam kalangan ahli tasawuf mengenai hal ini. Tentu saja, pernyataan tersebut bisa membingungkan banyak orang awam, mengingat bahwa mayoritas dari mereka beribadah dengan motivasi adanya pahala dan dosa, sesuai dengan janji Allah dalam Al-Qur’an.
Dalam dua ayat Al-Qur’an, Allah menjanjikan ampunan dan pahala yang besar bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh, serta mengingatkan bahwa ada hukuman bagi mereka yang menentang-Nya. Menanggapi pernyataan kalangan sufi tersebut, Sayyid Abdullah al-Haddad menyatakan bahwa beramal dengan harapan pahala adalah perbuatan terpuji dan penuh berkah. Ia menekankan bahwa manusia diciptakan dalam keadaan lemah dan membutuhkan karunia dari Allah yang Mahakaya.
Dari penjelasan ini, terdapat beberapa poin penting yang dapat diambil. Pertama, beramal karena mengharapkan pahala bukanlah hal yang tercela, melainkan terpuji dan diberkahi oleh Allah. Mengharapkan pahala berarti berharap akan balasan di akhirat, yang merupakan nilai ukhrawi, dan ini tidak mengurangi keikhlasan seseorang dalam beramal. Kedua, baik para salafussalih maupun khalafussalih juga beramal dengan harapan pahala, tanpa mengharapkan balasan duniawi. Ketiga, sebagai makhluk yang lemah, manusia selalu membutuhkan karunia Allah, yang berupa pahala sebagai bekal hidup abadi di akhirat.
Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad tidak bermaksud menolak pandangan kalangan sufi tersebut, melainkan menjelaskan bahwa pernyataan itu sebenarnya bertujuan untuk menekankan bahwa amal yang dilakukan semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah adalah yang lebih utama. Jika seseorang beramal hanya karena mengharapkan sesuatu, maka ketika tidak ada janji tersebut, ia mungkin tidak akan beramal. Demikian pula, jika amal dilakukan karena takut akan ancaman, maka ketika ancaman itu tidak ada, amal tersebut juga bisa terhenti.
Kesimpulannya, beramal dengan harapan mendapatkan pahala diperbolehkan dan disebut sebagai al-rajun, sedangkan beramal karena takut akan siksa disebut al-khaifun. Sementara itu, beramal semata-mata untuk melaksanakan perintah Allah disebut al-‘arifun, yang merupakan maqam tertinggi. Ketiga tipologi ini menunjukkan bahwa motivasi dalam beramal memiliki derajatnya masing-masing, dengan amal yang dilakukan hanya untuk memenuhi perintah Allah menjadi yang paling mulia.