Salah satu sifat mulia yang dimiliki manusia adalah rasa malu. Rasa malu sering kali muncul sebagai respons psikologis terhadap situasi yang tidak nyaman. Namun, pemahaman mengenai jenis rasa malu yang dapat meningkatkan kemuliaan seseorang dan mendatangkan rahmat Allah perlu dijelaskan lebih lanjut. Dalam hadits yang diriwayatkan dalam al-Arba’in an-Nawawiyah, Nabi Muhammad (SAW) bersabda: “Sesungguhnya sebagian dari apa yang telah diketahui oleh manusia dari pesan kenabian yang terdahulu: jika kamu tak punya malu, maka berbuatlah sesukamu” (HR. Al Bukhari).
Hadits ini mengandung perintah dan peringatan. Rasa malu penting dimiliki agar dapat mencegah perbuatan maksiat dan dosa, baik yang besar maupun kecil. Beberapa ulama menafsirkan hadits ini sebagai ancaman, mengingatkan bahwa perbuatan yang tidak dilandasi rasa malu dapat berujung pada siksa dari Allah. Dalam konteks ini, perbuatan yang tidak menimbulkan rasa malu bisa jadi merupakan bagian dari kebaikan, sedangkan perbuatan yang menimbulkan rasa malu sebaiknya ditinggalkan.
Rasa malu yang baik adalah yang sesuai dengan syariat dan tidak menghalangi seseorang untuk mencari ilmu. Misalnya, malu bertanya tentang hal yang tidak diketahui dapat berakibat pada ketidaktahuan. Para sahabat Nabi Muhammad (SAW) sering bertanya untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik, menunjukkan bahwa rasa malu tidak seharusnya menghalangi pencarian ilmu. Dalam sebuah majelis, Nabi Muhammad (SAW) mengingatkan agar merasa malu kepada Allah dengan sungguh-sungguh, yaitu dengan menjaga akal, memelihara perut dari yang haram, serta mengingat kematian.
Dari penjelasan ini, dapat dipahami bahwa rasa malu yang mendatangkan rahmat Allah adalah yang berkaitan dengan peningkatan takwa. Rasa malu yang dimaksud adalah untuk menghindari dosa dan maksiat, serta untuk menjaga akhlak yang baik terhadap sesama. Rasa malu yang baik bukanlah malu untuk mengakui kesalahan atau ketidaktahuan, melainkan malu yang mendorong seseorang untuk terus belajar dan berusaha menjadi lebih baik.