Dalam kajian tasawuf, para wali memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah, tetapi tidak dapat disangkal bahwa para nabi memiliki derajat yang jauh lebih tinggi. Seluruh ulama sepakat bahwa kedudukan para wali, meskipun sangat terhormat, tetap berada di bawah para nabi. Hal ini dikuatkan oleh Abul Qasim Al-Qusyairi dalam karyanya, Ar-Risalah Al-Qusyairiyyah, yang menyatakan bahwa “kedudukan para wali tidak akan mencapai kedudukan para nabi alayhimus salam berdasarkan ijmak yang disepakati.”

Imam Al-Qusyairi juga mengutip pendapat Abu Yazid Al-Busthami mengenai perbandingan derajat antara para wali dan nabi. Ia mengilustrasikan bahwa keutamaan yang dimiliki para nabi diibaratkan seperti sebuah bejana berisi madu, di mana setetes madu yang menetes dari bejana tersebut hanya mencerminkan keutamaan seluruh wali Allah. Dalam hal ini, bejana itu sendiri melambangkan keutamaan Nabi Muhammad (SAW).

Lebih lanjut, Al-Ikshara’i Al-Hanafi dalam kitabnya, Al-Ihkam, Syarah Al-Hikam Al-Athaiyyah, menekankan bahwa para rasul, nabi, dan wali memiliki kedudukan yang berbeda di sisi Allah. Setiap rasul dilengkapi dengan mukjizat yang mengantarkannya pada status kerasulan, sedangkan setiap nabi dianugerahi status kenabian dan kewalian. Di sisi lain, wali diberikan status kewalian dengan karamah yang dimilikinya.

Penting untuk dicatat bahwa setelah wafatnya Nabi Muhammad (SAW), Allah menutup anugerah kerasulan dan kenabian. Dengan kata lain, tidak ada lagi nabi atau rasul yang diangkat setelah beliau. Namun, Allah masih membuka pintu anugerah kewalian kepada orang-orang yang dikehendaki, sehingga derajat kewalian tetap diberikan kepada mereka yang layak.

Kesimpulannya, meskipun para wali memiliki kedudukan yang terhormat, mereka tetap berada di bawah para nabi dalam hal derajat dan kemuliaan di sisi Allah. Wallahu a’lam.