Kufur nikmat memiliki pengertian yang berbeda dari empat jenis kufur yang dijelaskan dalam Surat Al-Baqarah ayat 6. Menurut Imam Al-Baghawi dalam tafsirnya Ma’alimut Tanzil, kufur nikmat tidak termasuk dalam kategori kufur yang terkait dengan akidah, seperti kufur ingkar, kufur juhud, kufur inad, dan kufur nifaq. Dengan kata lain, seorang yang beriman pun dapat terjerumus ke dalam sikap kufur nikmat. Ini terjadi ketika seseorang mengingkari atau meremehkan berbagai anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT.
Meskipun kufur nikmat tidak tergolong sebagai kufur dalam konteks akidah, tindakan ini tetap tidak bisa dianggap sepele. Kufur nikmat adalah perbuatan tercela yang dapat mendatangkan azab yang berat, sebagaimana yang dinyatakan dalam Surat Ibrahim ayat 7: “Ingatlah ketika Tuhanmu mengeluarkan maklumat, ‘Sungguh jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu. Tetapi jika kalian mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.'”
Kufur nikmat adalah tindakan yang tercela dan tidak bermoral. Secara etis, mengingkari kebaikan orang lain, termasuk nikmat dari Allah, adalah perilaku yang buruk. Tindakan kufur nikmat biasanya dilakukan oleh individu yang memiliki standar moral yang rendah. Dalam konteks ini, Syekh M Nawawi Banten menjelaskan bahwa “kufur nikmat adalah hina, maksudnya tidak mensyukuri nikmat merupakan tanda kerendahan diri seseorang.”
Sebaliknya, syukur atau pengakuan atas pemberian Allah adalah sebuah kebijaksanaan yang lahir dari kesadaran dan kerendahan hati. Mensyukuri nikmat Allah sejatinya adalah kebutuhan bagi setiap makhluk, karena kebaikan yang diterima bukan hanya kembali kepada Allah, tetapi juga kepada diri sendiri sebagai bentuk adab kepada Sang Maha Pemberi. Dalam Surat Luqman ayat 12, Allah berfirman: “Sungguh, telah Kami berikan hikmah kepada Luqman, yaitu ‘Bersyukurlah kepada Allah. Siapa saja yang bersyukur, maka sungguh ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Tetapi siapa saja yang tidak bersyukur (kufur nikmat), maka sungguh Allah Maha Kaya, Maha Terpuji.'”
Syukur atas nikmat Allah dapat diwujudkan dengan pengakuan atas pemberian-Nya dan penggunaan nikmat serta kesempatan yang diberikan untuk hal-hal yang bermanfaat, terutama dalam beribadah.