Kitab Taysir Al-Khallaq (Memudahkan Berakhlak) yang ditulis oleh Syekh Hafizh Hasan Al-Mas’udi, seorang ulama di Darul Ulum, Al-Azhar, Mesir, telah menjadi sumber literatur penting di berbagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Salah satu alasan utamanya adalah kandungan kitab ini yang kaya akan pesan moral yang mudah dipahami, serta sistematisasi yang sangat baik. Pada bab pertama, Al-Mas’udi menjelaskan konsep takwa, yang menurutnya adalah menjalankan perintah Allah SWT dan menjauhi larangan-Nya, baik dalam keadaan sepi maupun ramai.
Untuk mencapai kesempurnaan takwa, setiap muslim perlu membersihkan diri dari sifat-sifat tercela dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Hal ini merupakan instrumen penting dalam mencapai jalan hidup yang tercerahkan dan meraih kesuksesan. Menempatkan takwa sebagai tujuan pendidikan Islam menunjukkan bahwa pendidikan harus memiliki orientasi yang jelas. Neil Postman, dalam karyanya The End of Education, menegaskan bahwa pendidikan harus memiliki tujuan yang akan menentukan keberhasilan pendidikan itu sendiri.
Dengan memahami takwa sebagai tujuan pendidikan Islam, diharapkan dapat melahirkan individu yang memiliki komitmen kesalehan, baik dalam hubungan dengan Tuhan maupun sesama. Komitmen ini harus terwujud dalam keseimbangan antara kesalehan individual dan sosial, sehingga pendidikan tidak hanya menghasilkan peserta didik yang saleh secara pribadi, tetapi juga mampu berkontribusi positif dalam masyarakat.
Proses pendidikan Islam harus berlangsung sepanjang hayat, karena menjalankan takwa adalah sebuah perjalanan yang berkelanjutan. Peserta didik diharapkan menghindari sikap tidak produktif dan membiasakan diri dengan etika baik. Akhlak terpuji menjadi faktor penting dalam mencapai ketakwaan dan kesuksesan seseorang. Dalam dunia pendidikan, tiga aspek yang perlu diperhatikan adalah afektif, kognitif, dan psikomotorik. Namun, kesuksesan lebih banyak ditentukan oleh aspek afektif, yaitu akhlak terhadap diri sendiri dan kesadaran teologis kepada Allah SWT.
Banyak peserta didik merasa tidak mungkin melanjutkan pendidikan karena keterbatasan ekonomi orang tua. Namun, pandangan ini perlu diubah. Keterbatasan ekonomi seharusnya dijadikan tantangan untuk berusaha lebih keras, bukan sebagai penghalang. Banyak contoh menunjukkan bahwa kesuksesan tidak selalu ditentukan oleh latar belakang ekonomi, tetapi oleh akhlak dan mentalitas individu.
Takwa seharusnya dipahami secara lebih luas, mencakup kesalehan individual dan sosial. Keduanya merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Untuk meraih kesempurnaan ketakwaan, perlu diimbangi dengan akhlak terpuji, komitmen untuk berusaha, dan tawakal kepada Allah SWT. Fondasi ini harus dibangun dalam pendidikan Islam agar dapat melahirkan generasi yang tidak hanya beriman, tetapi juga berakhlak mulia dan mampu berkontribusi positif dalam masyarakat.