Rendah hati atau humility (bahasa Arab: tawadhu’) adalah sikap yang mencerminkan kesadaran akan keterbatasan diri, sehingga seseorang tidak merasa angkuh atau sombong. Dalam ajaran Islam, bersikap rendah hati kepada orang lain merupakan tuntunan yang sangat penting. Nabi Muhammad (SAW) menjadi contoh utama dalam menjalani kehidupan sosial dan interaksi dengan sesama. Dalam setiap interaksi, Nabi Muhammad (SAW) selalu menunjukkan sikap rendah hati tanpa memandang status sosial, golongan, atau ras, karena hal tersebut adalah perintah Allah.
Terdapat banyak ayat dalam Al-Qur’an yang menjelaskan perintah Allah untuk bersikap rendah hati. Pertama, Allah memerintahkan kita untuk bersikap lemah lembut kepada orang lain. Dalam Surah Ali Imran ayat 159, Allah berfirman, “Maka berkat rahmat Allah, engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu.” Kedua, Allah melarang kita untuk bersikap sombong dan membanggakan diri, sebagaimana tercantum dalam Surah al-Isra ayat 37 yang mengatakan, “Dan janganlah engkau berjalan di bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu menjulang setinggi gunung.” Ketiga, dalam Surah Luqman ayat 18, Allah melarang kita untuk merendahkan orang lain dengan memalingkan wajah, “Dan janganlah kamu memalingkan wajah dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi dengan angkuh. Sungguh, Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membanggakan diri.”
Untuk dapat bersikap rendah hati kepada seluruh manusia, Syekh Nawawi al-Bantani dalam karyanya Nashaih al-Ibad mengutip nasihat Syekh Abdul Qadir al-Jilani (radliyallahu ‘anh) yang memberikan panduan tentang bagaimana seharusnya kita memandang orang lain. Ketika bertemu seseorang, kita seharusnya melihat bahwa mereka memiliki keutamaan dibandingkan diri kita. Misalnya, jika kita bertemu dengan orang yang lebih muda, kita bisa berpikir bahwa mereka belum melakukan dosa kepada Allah, sementara kita sudah berbuat dosa. Jika kita bertemu dengan orang yang lebih tua, kita ingat bahwa mereka telah lebih dulu beribadah kepada Allah. Begitu pula saat berhadapan dengan orang alim, kita harus mengakui bahwa mereka memiliki ilmu yang belum kita capai dan mengamalkan ilmunya. Bahkan ketika berhadapan dengan orang yang bodoh atau kafir, kita harus ingat bahwa kita tidak tahu bagaimana akhir hidup mereka dan bisa saja mereka berakhir dengan amal yang baik.
Nasihat ini sangat mendalam dan jika diterapkan, dapat membawa dampak positif dalam interaksi sosial. Dengan demikian, tidak akan ada yang merasa lebih tinggi dari yang lain, tidak ada bullying, dan tidak ada lidah yang suka mengkritik tanpa alasan. Seorang ulama pernah berkata, “Mulia tanpa sombong dan tawadhu’ (rendah hati) tanpa merendahkan diri.” Ini adalah prinsip yang seharusnya kita pegang, meskipun kita memiliki cita-cita tinggi, kita tetap harus merendahkan hati dan berpijak di bumi.