Untuk menentukan apakah seseorang layak diangkat menjadi mursyid, terdapat beberapa kriteria penting yang harus dipenuhi. Pertama, individu tersebut harus memiliki pengetahuan yang mendalam atau alim. Kualitas ini dapat dibuktikan melalui karya-karya tulis, baik dalam bentuk buku maupun media lainnya. Tokoh-tokoh besar dalam tasawuf Ahlussunnah wal Jamaah, seperti Sulthanul Awliya’ Syekh Abdul Qadir al-Jailani, Al-Imam Abul Hasan Asy-Syadzili, dan Imam Al-Ghazali, adalah contoh orang-orang yang telah menghasilkan berbagai karya ilmiah di berbagai bidang. Penegasan ini penting untuk mencegah masyarakat terjebak dalam “ketertipuan spiritual” yang marak belakangan ini, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, di mana banyak kelompok spiritual dengan tokoh sentral yang dianggap sebagai guru spiritual, namun tidak memiliki rekam jejak intelektual maupun spiritual yang jelas.
Kedua, seorang mursyid harus memiliki akhlak mulia dan pengalaman spiritual yang sudah mendarah daging berkat riyadhah yang dijalani. Pengalaman spiritual ini akan memancar dalam bentuk akhlak yang baik, seperti sabar, syukur, tawakal, yakin, pemurah, qanaah (tidak serakah), pengasih, tawadhu, shiddiq, pemalu (haya’), wafa’ (selalu menepati janji), dan wiqar (tenang). Akhlak ini sering disebut sebagai maqam-maqam dalam tradisi kesufian, yang merupakan temuan intelektual-spiritual yang mendalam. Seorang mursyid yang telah mencapai maqam-maqam tersebut akan mampu membimbing muridnya untuk mencapai tingkat yang sama. Ia berfungsi sebagai pemandu wisata yang menjelaskan seluk-beluk lahiriah dan batiniah, sehingga murid tidak tersesat. Dalam tariqat, seorang murid diharuskan untuk berbaiat, yang berarti berjanji setia untuk menjalankan semua perintah mursyidnya demi mencapai maqam-maqam tersebut.
Penjelasan ini dapat ditemukan dalam Kitab Khazinatul Asrar Jalilatul Adzkar karya Muhammad Sayyid Haqqi An-Nazili, halaman 192. Dua tanda ini cukup dijadikan acuan untuk mengetahui apakah seseorang memenuhi syarat untuk menjadi mursyid atau muqaddam. Harapannya, penjelasan ini dapat menjadi rujukan agar kita tidak mudah tertipu oleh tawaran spiritualitas palsu dari individu yang tidak memiliki rekam jejak intelektual dan spiritual yang jelas, terutama mereka yang hanya mengandalkan penampilan lahiriah untuk mengglorifikasi diri.
Sebagai penutup, terdapat syair dari Syeikh Abdul Qadir Al-Jailani yang diambil dari Kitab Futuhul Ghaib: “Jika takdir membantumu atau waktu menuntunmu kepada syekh yang jujur dan ahli hakikat, maka bergurulah dengan rela dan ikutilah kehendaknya. Tinggalkan apa yang sebelumnya kaulakukan, sebab menentang berarti melawan.” Ini adalah gambaran indah dari ilmu kaum sufi.