Nafsu muthmainnah adalah keadaan jiwa yang tenang, bersandar pada kedekatan dengan Allah (SWT). Dalam Al-Qur’an, Allah (SWT) berfirman, “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang ridha lagi diridhai-Nya,” (QS. al-Fajr [89]: 27-28). Nafsu ini mencerminkan keyakinan seorang mukmin terhadap ketuhanan Allah (SWT) dan janji-janji-Nya.
Menurut Ibnu ‘Abbas, nafsu muthmainnah adalah jiwa yang membenarkan ketuhanan Allah (SWT). Qatadah menambahkan, nafsu ini dimiliki oleh seorang mukmin yang yakin akan janji-janji Allah (SWT) dan tenang dalam makrifat terhadap asma dan sifat-Nya. Ia mampu melihat segala yang dijanjikan Allah (SWT) seakan-akan nyata. Selain itu, nafsu muthmainnah juga menerima takdir Allah (SWT) dengan penuh keridhaan, tidak pernah mengeluh, dan selalu bersyukur atas segala pemberian-Nya.
Keistimewaan lain dari nafsu muthmainnah adalah ketaatan terhadap perintah Allah (SWT) dan keikhlasan dalam beribadah. Seorang hamba yang memiliki nafsu ini tidak akan menunaikan perintah-Nya hanya karena keinginan pribadi. Ia akan mencintai dan membenci segala sesuatu karena Allah (SWT), seperti yang dijelaskan dalam hadits Rasulullah (SAW) yang menekankan pentingnya mencintai dan membenci karena Allah (SWT).
Dzikir kepada Allah (SWT) menjadi salah satu cara untuk mencapai ketenangan hati. Dalam QS. Ar-Ra‘d [13]: 28, Allah (SWT) mengingatkan bahwa hati menjadi tenteram dengan mengingat-Nya. Oleh karena itu, hamba yang bernafsu muthmainnah akan bertransformasi dari maksiat kepada taubat, dari kebodohan kepada pengetahuan, dan dari kelalaian kepada dzikir.
Langkah awal untuk mencapai nafsu muthmainnah adalah menyadari posisi sebagai hamba yang hina di hadapan Allah (SWT) dan menganggap dunia sebagai kehidupan sementara. Tanpa kesadaran ini, penyesalan akan menghampiri, sebagaimana diungkap dalam QS. Az-Zumar [39]: 56.
Nafsu muthmainnah adalah nafsu tertinggi yang menghalangi nafsu amarah. Ketika nafsu ini kuat, hati akan terlindung dan semakin dekat dengan Allah (SWT). Sebaliknya, nafsu amarah akan tersisih. Nafsu muthmainnah berfungsi sebagai peredam dan penghadang dari pengaruh buruk, seperti syahwat dan marah, yang merupakan tabiat kebinatangan.
Dengan demikian, nafsu muthmainnah adalah cahaya bagi hati, menjauhkan dari sifat-sifat tercela, dan menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji. Meskipun nafsu lawwamah juga dapat melahirkan perilaku baik, nafsu ini terkadang masih terjebak dalam kelalaian. Ketenangan, keyakinan, dan kekhusyuan adalah buah dari nafsu muthmainnah, sedangkan taubat dan istigfar adalah hasil dari nafsu lawwamah. Sementara itu, keburukan dan perilaku tercela berasal dari nafsu amarah.