Dalam pandangan masyarakat, sering kali orang miskin dipandang rendah, terutama dalam sistem kapitalistik yang mendominasi. Namun, agama memiliki sudut pandang berbeda, di mana nilai seseorang tidak ditentukan oleh harta, melainkan oleh spiritualitas dan ketakwaannya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sayyid Abdullah bin Alawi al-Haddad dalam kitabnya, Al-Fushul al-‘Ilmiyyah wal Ushul al-Hikamiyyah, membagi orang miskin menjadi dua kategori: orang miskin terpuji dan orang miskin tercela.
Orang miskin terpuji adalah mereka yang mencari harta untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, tetapi tidak berhasil karena bagian yang ditentukan Allah berada di bawah kebutuhannya. Meskipun demikian, mereka tetap bersikap wara’ (hati-hati), bertakwa, sabar, dan ridha terhadap apa yang telah ditentukan. Wara’ berarti berhati-hati dalam segala urusan, termasuk dalam mencari rezeki yang halal. Mereka menolak rezeki yang haram atau syubhat agar tidak terjerumus dalam pelanggaran.
Ketakwaan orang miskin terpuji terlihat dari komitmennya untuk menjalankan perintah Allah, meskipun dalam keadaan ekonomi yang sulit. Mereka tetap melaksanakan ibadah seperti shalat, puasa, dan berbakti kepada orang tua. Kesabaran juga menjadi ciri khas mereka, di mana mereka mampu menahan diri dari rasa gelisah dan amarah meskipun tidak semua kebutuhan terpenuhi. Ridha terhadap cobaan kemiskinan menjadi tanda bahwa mereka menerima takdir Allah dengan lapang dada.
Di sisi lain, orang miskin tercela adalah mereka yang meninggalkan takwa dan wara’ dalam usaha mencari harta. Mereka tidak peduli dengan halal atau haramnya rezeki yang diperoleh, serta mengabaikan kewajiban-kewajiban kepada Allah. Ketidakpuasan dan rasa iri terhadap orang-orang kaya menguasai pikiran mereka, dan mereka sering kali menunjukkan protes terhadap keadaan yang sulit. Dalam kondisi ini, kemiskinan dapat mendekatkan seseorang kepada kekufuran, sebagaimana diungkapkan dalam hadits.
Secara keseluruhan, kemiskinan dapat menjadi ujian bagi seseorang. Pandangan dan sikap terhadap kemiskinan tersebut yang menentukan apakah seseorang akan menjadi orang miskin terpuji atau tercela. Orang miskin terpuji akan memilih sikap positif, sementara orang miskin tercela cenderung mengambil jalan sebaliknya.