Nafsu pada dasarnya memiliki sifat yang jahil dan zalim. Tanpa rahmat dan karunia Allah, nafsu cenderung memerintah pada keburukan. Namun, jika Allah menghendaki kebaikan, Dia akan membersihkan nafsu tersebut melalui keimanan dan amalan saleh. Hal ini menunjukkan bahwa jika nafsu dibiarkan dalam kondisi aslinya tanpa mendapatkan rahmat Allah, maka ia akan terus mengarahkan kepada keburukan dan kezaliman.
Dalam konteks ini, para ulama menjelaskan bahwa nafsu itu satu, tetapi memiliki tiga sifat atau keadaan: nafsu ammarah, nafsu lawwamah, dan nafsu muthmainnah, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran. Nafsu ammarah adalah nafsu yang masih dalam kondisi asalnya, yaitu jahil dan zalim, yang selalu memerintah kepada keburukan. Dalam QS. Yusuf (12): 53, Allah berfirman: “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada keburukan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.”
Selanjutnya, nafsu lawwamah adalah nafsu yang disesali atau dipersalahkan. Dalam QS. Al-Qiyamah (75): 1-2, Allah bersumpah demi hari kiamat dan jiwa yang amat menyesali nafsunya sendiri. Terdapat beragam pendapat di kalangan ulama mengenai nafsu lawwamah. Sebagian ulama berpendapat bahwa nafsu ini tidak tetap dalam satu keadaan, seringkali beralih dari dzikir ke lalai, dari taat ke maksiat, dan seterusnya. Nafsu lawwamah terbagi menjadi dua: lawwamah mulawwamah (yang dipersalahkan) dan lawwamah ghair mulawwamah (tidak dipersalahkan). Lawwamah mulawwamah adalah nafsu yang zalim dan dipersalahkan oleh Allah, sedangkan lawwamah ghair mulawwamah adalah nafsu yang disesali oleh pemiliknya karena lalai dalam ketaatan, meskipun ia telah berusaha keras.
Manusia yang selalu menyalahkan nafsunya dan berusaha taat kepada Allah akan terhindar dari celaan-Nya. Sebaliknya, mereka yang merasa rida dengan amal-amalnya tanpa introspeksi diri berisiko dicela di hadapan Allah. Al-Hasan al-Bashri berpendapat bahwa nafsu lawwamah adalah nafsu seorang mukmin, yang selalu mengkritik dirinya sendiri dan berusaha melakukan yang terbaik.
Di akhirat, setiap manusia akan menyesali nafsunya. Orang baik akan menyesali mengapa kebaikannya sedikit, sedangkan orang zalim akan menyesali mengapa ia mengikuti keinginan buruknya. Ini adalah ragam pendapat ulama tentang nafsu lawwamah yang dapat menjadi bekal bagi siapa pun yang ingin menempuh jalan Allah dan menghindari penyesalan yang mendalam di akhirat.