Kebodohan atau ketidaktahuan, terutama dalam aspek agama, memiliki dampak negatif yang signifikan. Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad menyatakan bahwa kebodohan merupakan sumber dari segala keburukan dan tempat lahirnya berbagai mudarat. Menurut Al-Haddad, orang yang bodoh termasuk dalam kategori yang dilaknat, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang diriwayatkan oleh At-Turmudzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabarani, dan Ibnu Asakir: “Dunia itu terlaknat, demikian juga isi dunia kecuali zikir, orang alim, dan orang yang belajar.” (HR At-Turmudzi, Ibnu Majah, Al-Hakim, Al-Baihaqi, At-Thabarani, dan Ibnu Asakir).
Orang bodoh terjebak dalam kegelapan dan dapat terjerumus ke dalam maksiat tanpa menyadarinya. Al-Haddad menegaskan bahwa orang bodoh tidak tahu mana perbuatan yang diperintahkan Allah dan mana yang dilarang-Nya. “Orang bodoh jatuh ke dalam pengabaian taat dan perbuatan maksiat baik dengan kehendak maupun tanpa kehendak, tanpa ia ketahui mana perbuatan taat yang diperintahkan Allah untuk dilakukan dan mana maksiat yang dilarang Allah.” Seseorang hanya dapat keluar dari kegelapan kebodohan dengan cahaya ilmu.
Al-Haddad juga meriwayatkan bahwa ketika Allah menciptakan kebodohan, Ia memanggilnya untuk maju, namun kebodohan justru mundur. Sebaliknya, ketika Allah menyuruhnya mundur, kebodohan malah maju. Allah kemudian menyatakan bahwa kebodohan adalah makhluk yang paling dibenci-Nya. Hal ini menunjukkan betapa buruknya kebodohan, yang sudah jelas dari perspektif naqli (dalil Al-Qur’an dan hadits) dan aqli (akal sehat).
Sayyidina Ali bin Abu Thalib menyatakan, “Tidak ada musuh yang lebih zalim dari kebodohan.” Sementara itu, Syekh Ali bin Abu Bakar menggambarkan kebodohan sebagai api yang membakar agama seseorang, sedangkan ilmu adalah air yang memadamkan api tersebut.
Sayyid Abdullah bin Alwi Al-Haddad menganjurkan umat Islam untuk mempelajari pengetahuan dasar mengenai kewajiban yang diperintahkan Allah, larangan-Nya, serta aktivitas sehari-hari seperti shalat, zakat, puasa, dan haji, tanpa perlu mendalami semuanya. Umat Islam juga perlu memahami dasar ilmu tauhid yang dapat menyelamatkan keimanannya.
Al-Haddad mengutip pandangan Malik bin Dinar mengenai keutamaan menuntut ilmu, baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain: “Siapa saja yang menuntut ilmu untuk dirinya, maka sekurang-kurangnya itu dapat mencukupi dirinya. Tetapi siapa yang menuntut ilmu untuk orang lain, maka kebutuhan orang lain atas ilmu itu begitu banyak.”
Dengan demikian, umat Islam tidak boleh mengabaikan pengetahuan dasar mengenai kewajiban dan larangan Allah. Wallahu a’lam.