- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Etika Dakwah dalam Situasi Musibah

Google Search Widget

Khutbah Jumat merupakan bagian integral dari ibadah mingguan umat Islam, sementara ceramah agama dalam pengajian dan peringatan hari besar Islam telah menjadi hal yang umum di masyarakat. Namun, dalam situasi musibah atau bencana, penting bagi para khatib, penceramah, dan dai untuk menjaga etika dakwah. Etika ini menjadi sangat penting, mengingat beberapa khatib dan penceramah seringkali dengan mudah memvonis masyarakat yang terdampak bencana sebagai pelaku maksiat, serta menilai bencana sebagai azab bagi individu atau masyarakat tersebut.

Khatib, penceramah, dan dai seharusnya tidak menghakimi atau menuding masyarakat yang mengalami musibah sebagai pelaku maksiat. Mereka perlu menghindari vonis bahwa bencana merupakan azab Allah bagi masyarakat atau individu yang bersangkutan. Etika ini harus selalu diingat karena sangat penting untuk mempertimbangkan perasaan masyarakat dan individu yang sedang menderita akibat bencana, serta mengingat adanya perbedaan pendapat di kalangan ulama. Hal ini penting agar masyarakat yang sedang menderita tidak mengalami penderitaan tambahan akibat tudingan yang tidak etis dari para khatib dan penceramah.

Buku “Fikih Kebencanaan dalam Perspektif Nahdlatul Ulama” yang diterbitkan oleh Lembaga Bahtsul Masail (LBM) PWNU Jawa Timur dan Lembaga Penanggulangan Bencana dan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBINU) Jawa Timur mencatat bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mengenai musibah dan bencana. Beberapa ulama beranggapan bahwa musibah merupakan azab dari Allah, sementara yang lain berpendapat sebaliknya. Salah satu dalil yang digunakan oleh ulama yang berpendapat bahwa musibah adalah azab terdapat dalam Surat As-Syura ayat 30, yang menyatakan bahwa musibah yang menimpa manusia disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri.

Di sisi lain, Imam Fakhruddin Ar-Razi dalam tafsirnya, “Mafatihul Ghaib”, memberikan argumen bahwa balasan atas dosa hanya akan terjadi di hari kiamat, dan bencana dapat menimpa siapa saja, baik yang beriman maupun yang tidak. Ia juga menekankan bahwa dunia adalah tempat beramal, bukan tempat pembalasan, dan bahwa bencana dapat menjadi proses yang terbaik bagi manusia.

Buku “Fikih Kebencanaan dalam Perspektif NU” merekomendasikan delapan langkah bagi masyarakat dan individu yang terdampak bencana, antara lain membaca istirja’ (innalillahi wa inna ilaihi raji’un), merendahkan diri kepada Allah dengan berdoa, melakukan shalat sunnah, introspeksi diri, dan membantu korban terdampak bencana. Para khatib, penceramah, dan dai juga seharusnya mengajak masyarakat untuk berempati dan saling membantu dalam menghadapi bencana.

Penting untuk diingat bahwa etika dakwah ini tidak mengabaikan kritik dan evaluasi terhadap penanggulangan bencana, serta pengelolaan lingkungan yang baik. Hal ini perlu dilakukan agar masyarakat dapat belajar dan memperbaiki diri dalam menghadapi tantangan yang ada. Wallahu a‘lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?