Berdzikir dan berdoa merupakan aktivitas penting bagi seorang Muslim, tidak hanya sebagai sarana untuk meminta, tetapi juga untuk mendekatkan diri kepada Allah (SWT). Allah berfirman dalam Al-Qur’an: “Hanya dengan mengingat Allah-lah hati menjadi tenteram” (QS Ar-Ra’d: 28). Kedua aktivitas ini memiliki tata krama dan etika yang perlu diperhatikan, yang dapat ditemukan dalam ilmu tasawuf.
Sayyid Utsman al-Batawi, seorang mufti Betawi pada masa penjajahan Belanda, menyusun kitab yang berisi doa-doa dan adab dalam berdoa, yang dikenal dengan judul Maslakul Akhyâr fî al-Ad’iyyah wal Adzkâr al-Wâridah ‘an Rasûlillah. Dalam kitab tersebut, terdapat syarat dan adab yang perlu diperhatikan dalam berdzikir dan berdoa.
Pertama, penting untuk tidak mengerjakan dzikir sunnah sebelum menunaikan amalan wajib, seperti menuntut ilmu dan melaksanakan shalat yang terutang. Kedua, lafaz-lafaz dzikir harus dibaca sesuai dengan kaidah yang benar, meskipun aturan tajwid lebih ditekankan pada pembacaan Al-Qur’an. Ketiga, memahami makna doa yang dibaca akan meningkatkan kualitas penghayatan dalam berdoa. Keempat, makanan yang dikonsumsi harus halal, sesuai dengan sabda Nabi Muhammad (SAW) yang menekankan bahwa Allah tidak menerima doa dari orang yang makan dan minum dari yang haram. Kelima, disunnahkan untuk menghadap kiblat dan berada dalam keadaan suci saat berdzikir dan berdoa, serta melaksanakannya dengan khusyuk dan merendahkan diri.
Dengan memperhatikan syarat dan adab tersebut, diharapkan doa yang dipanjatkan kepada Allah (SWT) akan lebih mudah dikabulkan. Mengamalkan etika dalam berdoa dan berdzikir tidak hanya meningkatkan kualitas ibadah, tetapi juga memperkuat hubungan spiritual dengan Sang Pencipta.