- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Abu Hanifah dan Kewiraian Hati

Google Search Widget

Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsâbit (80-150 H) adalah salah satu imam mazhab yang diakui dalam sejarah Islam, terutama dalam bidang fiqih. Ia hidup pada periode tabi’in dan berinteraksi dengan sahabat-sahabat Nabi Muhammad (SAW), termasuk Anas bin Malik. Kealimannya di bidang fiqih telah diakui oleh banyak ulama, sehingga ia layak disebut sebagai mujtahid mutlak, yang berarti mampu menggali hukum agama secara mandiri.

Meskipun terkenal sebagai pakar fiqih, Abu Hanifah juga memiliki pemahaman yang mendalam tentang tasawuf. Ia menggabungkan ilmu fiqih dengan tasawuf, menekankan pentingnya keseimbangan antara keduanya. Dalam dunia tasawuf, terdapat kutipan yang menyatakan bahwa seseorang yang hanya mendalami fiqih tanpa amaliyah tasawuf berpotensi terjerumus pada tindakan fâsiq, sedangkan yang hanya bertashawwuf tanpa fiqih yang benar bisa menjadi zindiq. Sementara itu, mereka yang mampu menggabungkan keduanya berada pada derajat tahqiq, beragama dengan sesungguhnya.

Salah satu contoh sikap hati-hati Abu Hanifah dapat dilihat dari kisah yang diceritakan oleh Imam As-Sya’rani. Suatu ketika, Abu Hanifah menolak untuk duduk atau berteduh di teras seseorang yang memiliki utang kepadanya. Ia beralasan bahwa setiap hutang yang menarik keuntungan di salah satu pihak termasuk riba, dan berteduh di bawah naungan orang tersebut berarti ia mengambil manfaat darinya. Hal ini menunjukkan betapa dalamnya pijakan hukum yang dipegang oleh Abu Hanifah.

Dalam konteks fiqih, jika seseorang berhutang, tidak boleh ada bunga yang dikenakan. Misalnya, jika Ahmad meminjam uang sebanyak Rp. 100.000,- tanpa adanya kesepakatan bunga, maka tidak ada masalah. Namun, jika di kemudian hari ada kesepakatan bunga, maka hal tersebut tidak diperbolehkan. Abu Hanifah, meskipun tidak melakukan riba dalam transaksi, tetap menolak untuk mengambil keuntungan sekecil apapun dari orang yang berutang kepadanya, bahkan saat hanya sekadar berteduh. Ini mencerminkan sikap wira’i yang patut dicontoh.

Kesimpulan yang bisa diambil dari sikap Abu Hanifah adalah pentingnya merawat hati. Seseorang yang memiliki hati yang bersih akan terhindar dari harta haram, sifat sombong, dan mencela orang lain. Dalam Kitab Lathâiful Ma’ârif, dikatakan bahwa membersihkan hati lebih utama dibandingkan memperbanyak ibadah seperti puasa dan shalat jika dilakukan dengan hati yang tercemar. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas spiritualitas sangat dipengaruhi oleh kebersihan hati. Wallâhu a’lam.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

February 6

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?