Nabi Muhammad (SAW) dilahirkan dalam keadaan yatim, setelah ayahnya, Abdullah bin Abdul Muthallib, wafat dalam perjalanan dagang. Berbagai pendapat menyebutkan usia Abdullah saat itu berkisar antara 18 hingga 30 tahun. Ibunya juga meninggal beberapa tahun setelahnya. Situasi yatim yang dialami Nabi Muhammad (SAW) sejak kecil menjadi perhatian para malaikat yang mengadukan kondisi tersebut kepada Allah SWT. Mereka merasa prihatin terhadap nasib anak-anak yatim yang tidak mendapatkan perlindungan dan kasih sayang orang tua.
Allah SWT menjamin pemeliharaan Nabi Muhammad (SAW) dengan firman-Nya bahwa Dia akan menjaga dan membela Nabi-Nya. Para ulama berusaha memahami hikmah di balik keadaan yatim yang dialami oleh Rasulullah (SAW). Syekh M Nawawi Banten menyampaikan pandangan Sayyid Ja‘far As-Shadiq (RA) yang menjelaskan bahwa hal ini agar Rasulullah (SAW) tidak memiliki kewajiban terhadap makhluk-Nya, termasuk orang tuanya.
Lebih lanjut, Ibnul Imad berpendapat bahwa keadaan yatim ini merupakan persiapan Allah untuk menjadikan Nabi Muhammad (SAW) sebagai sosok yang besar di kemudian hari. Dengan demikian, Nabi Muhammad (SAW) menyadari bahwa kemuliaannya berasal dari Allah SWT, bukan dari orang tua atau harta.
Pengalaman Nabi Muhammad (SAW) sebagai anak yatim juga memberikan pelajaran berharga agar beliau dapat berempati terhadap masyarakat yang terpinggirkan. Dalam sabdanya, Nabi Muhammad (SAW) mengingatkan umat untuk mengasihi anak-anak yatim dan memuliakan orang-orang asing, karena beliau pun pernah mengalami situasi serupa.
Hikmah dari pengalaman Nabi Muhammad (SAW) sebagai yatim mengajarkan kita untuk meneladani sikapnya terhadap kelompok mustadhafin, termasuk anak yatim, orang tua, dan mereka yang kurang beruntung dalam masyarakat. Ini menjadi pengingat bahwa kekuatan dan kemuliaan seseorang berasal dari Allah SWT, dan pentingnya kasih sayang serta perhatian terhadap mereka yang membutuhkan.