- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Kedudukan Syair Tawasul dalam Tradisi Islam

Google Search Widget

Syair tawasul yang sering kita dengar, “Yâ rabbî bil mushtafâ balligh maqâshidanâwaghfir lanâ mâ madhâ yâ wâsi‘al karami,” merupakan ungkapan yang biasa dinyanyikan oleh banyak orang tua sebelum waktu azan atau saat mengisi waktu senggang. Syair ini sering kali dipadukan dengan bait-bait lain, seperti “Muhammadun sayyidul kaunaini was tsaqalaini wal farîqaini min ‘urbin wa min ‘ajami,” “hual habîbul ladzî turjâ syafâ‘atuhû,” dan “maulâya shalli wa sallim dâ’iman abadan ‘alâ habîbika khairil kulli himi.”

Syair tawasul ini memiliki arti yang dalam, yaitu permohonan kepada Allah dengan kedudukan Nabi Muhammad (SAW) agar maksud-maksud kita disampaikan dan dosa-dosa yang telah berlalu diampuni. Dalam bahasa Arab, syair tersebut berbunyi: يَا رَبِّ بِالمُصْطَفَى بَلِّغْ مَقَاصِدَنَا وَاغْفِرْ لَنَا مَا مَضَى يَا وَاسِعَ الكَرَمِ.

Asal usul syair ini ditemukan oleh Syekh Ibrahim Al-Baijuri dalam salah satu versi naskah Qashidatul Burdah karya Imam Muhammad bin Sa‘id Al-Bushiri. Qashidatul Burdah sendiri merupakan karya yang memiliki banyak varian naskah, yang memungkinkan adanya perbedaan dalam isi dan penjelasan.

Dalam salah satu naskah Qashidatul Burdah, terdapat bait yang mengandung syair tawasul ini, yang menunjukkan pentingnya permohonan kepada Allah melalui kedudukan Nabi Muhammad (SAW). Syekh Ibrahim Al-Baijuri juga mencatat bahwa di beberapa naskah terdapat bait-bait yang tidak disyarahkan oleh ulama, namun tetap tidak menjadi masalah.

Syair ini diakhiri dengan doa untuk kelapangan dari segala kesulitan yang dihadapi umat Islam, sebagai bentuk harapan akan pertolongan dan kasih sayang Allah. Dengan demikian, syair tawasul ini bukan hanya sekadar ungkapan, tetapi juga merupakan doa yang penuh harapan bagi umat Islam agar senantiasa diberi kemudahan dan ampunan.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

December 23

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?