Setiap manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah SWT, dan yang membedakan mereka adalah tingkat ketakwaannya. Kualitas ketakwaan ini dapat dicapai melalui pengisian waktu dengan aktivitas yang bernilai ibadah. Salah satu cara untuk mencapai ketakwaan adalah dengan bersikap zuhud, namun tetap menikmati kelezatan dunia sesuai dengan ajaran Syekh Abul Hasan As-Syadzili.
Syekh Abul Hasan As-Syadzili mengajarkan kepada murid-muridnya untuk menikmati makanan yang enak, minuman yang nikmat, tidur di atas kasur yang nyaman, dan mengenakan pakaian yang lembut. Beliau menekankan bahwa ketika seseorang melakukan hal-hal tersebut dengan penuh syukur kepada Allah, maka setiap anggota tubuhnya akan ikut bersyukur. Anjuran ini bertujuan agar seseorang bersyukur secara total atas nikmat yang diberikan Allah, bukan sekadar menerima dengan biasa-biasa saja atau bahkan merasa tidak puas.
Dalam konteks ini, Syekh Syadzili juga mengingatkan bahwa ada perbedaan antara menikmati dunia dengan penuh syukur dan sekadar menjalani hidup dengan ketidaksudian. Seseorang yang hanya mengonsumsi makanan seadanya dan merasa tidak sudi atas takdir Allah, meskipun berucap syukur, sebenarnya lebih berisiko mendapatkan dosa karena ketidaksudiannya daripada mereka yang menikmati dunia dengan ikhlas. Ini menunjukkan bahwa niat dan sikap hati sangat mempengaruhi nilai dari setiap amalan.
Rasa syukur yang setengah-setengah dapat berbahaya, sehingga Syekh Syadzili mendorong umat untuk menikmati hal-hal yang mubah dengan niat yang tulus. Dengan niat yang baik, kenikmatan yang tampaknya biasa dapat berubah menjadi amalan yang bernilai di sisi Allah. Imam Abdul Wahhab Sya’rani, yang tumbuh dalam tradisi Syadziliyah, menyatakan bahwa meninggalkan yang mubah dapat menjadi jalan untuk meningkatkan derajat spiritual.
Namun, anjuran Syekh Syadzili ini tidak boleh dipahami secara sempit sebagai pembenaran untuk hidup hedonis atau konsumtif. Sebaliknya, ini adalah cara untuk menciptakan rasa syukur yang total dan mengubah nilai-nilai mubah menjadi lebih bermakna. Manusia pada dasarnya memiliki keinginan terhadap kenikmatan dunia yang diciptakan Allah, dan memenuhi keinginan tersebut dengan niat ibadah dapat membantu menjaga perjalanan spiritual agar tidak stagnan.
Dengan demikian, kita tidak seharusnya menilai buruk mereka yang menikmati kehidupan dengan cara yang baik, seperti berpakaian rapi, tinggal di rumah yang indah, atau berkendara dengan kendaraan yang baik. Semua itu dapat dilakukan selama niatnya untuk bersyukur kepada Allah dan tetap dalam koridor syariat. Wallahu a’lam.