Syekh Ibnu Athaillah dalam salah satu hikmahnya menekankan bahwa setiap momentum dalam kehidupan manusia selalu mengandung kewajiban terhadap Allah. Setiap waktu yang berlalu membawa hak dan perintah baru dari Allah, sehingga tidak ada alasan untuk mengabaikan kewajiban-Nya demi memenuhi hak orang lain. Dalam hikmah beliau, dinyatakan: “Tak ada satupun waktu yang berlalu tanpa kewajiban baru dan perintah kuat dari Allah. Jadi, bagaimana kau bisa mengqadha kewajiban terhadap orang lain? Sementara kau belum menunaikan kewajiban Allah.”
Syekh Ahmad Zarruq menginterpretasikan hikmah ini sebagai pengakuan akan banyaknya jalan menuju Allah yang tidak terduga. Jalan tersebut tidak selalu berupa ibadah mahdhah seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Setiap nafas yang dihirup manusia menciptakan kesempatan baru untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan kata lain, setiap nafas adalah kesempatan untuk menapaki jalan menuju-Nya, sehingga ada ungkapan bahwa banyak jalan menuju Allah sebanyak nafas makhluk-Nya.
Hikmah ini juga menggarisbawahi pentingnya memahami kewajiban di setiap momentum. Ada kewajiban yang bisa diqadha dan ada yang tidak bisa. Dalam hal ini, seseorang tidak dapat lepas dari berbagai tanggung jawab yang sesuai dengan kondisi riilnya. Misalnya, ketika seseorang menghadapi musibah, ia wajib bersabar dan ridha, sedangkan yang terlepas dari musibah wajib bersyukur.
Para ulama berpendapat bahwa orang-orang saleh adalah mereka yang peka terhadap tuntutan kewajiban waktu tanpa lengah. Mereka yang diberi nikmat tidak akan sombong, melainkan bersyukur. Dalam konteks ini, sufi dianggap sebagai “anak zamannya”, yang artinya mereka menjalankan adab waktu dan menunaikan hak yang ada, sama seperti anak yang berbakti kepada orang tuanya.
Hikmah ini bukanlah ajakan untuk mengabaikan tanggung jawab sosial demi kewajiban terhadap Allah, melainkan untuk menegaskan disiplin dalam memenuhi tanggung jawab sesuai dengan kondisi masing-masing individu. Wallahu a‘lam.