- 
English
 - 
en
Indonesian
 - 
id

Ketaatan dan Maksiat dalam Perspektif Agama

Google Search Widget

Agama pada dasarnya terdiri dari dua hal: melaksanakan perintah dan menjauhi larangan. Melaksanakan perintah sering diartikan sebagai ketaatan kepada Allah, sedangkan menjauhi larangan disebut sebagai menjauhi maksiat. Alat yang digunakan untuk melakukan kedua hal ini adalah anggota tubuh. Allah menciptakan tubuh manusia sebagai nikmat yang harus dinikmati dan amanah yang harus dijaga. Dalam Q.S Adz-Dzaariyaat ayat 56, Allah berfirman, “Dan Aku ciptakan jin dan manusia hanya untuk beribadah kepada-Ku.” Ini menunjukkan bahwa anggota tubuh diciptakan untuk beribadah kepada-Nya. Ketika manusia tidak memanfaatkan tubuhnya untuk beribadah atau malah melakukan maksiat, mereka dianggap mengkhianati amanah Allah.

Imam Al Ghazali menyatakan bahwa seseorang dikatakan berhijrah ketika ia menjauhi hal-hal buruk, dan ia disebut berjihad ketika melawan hawa nafsunya. Dengan demikian, orang yang taat kepada Allah layak disebut sebagai pejuang, dan orang yang menjauhi maksiat telah melakukan hijrah. Ungkapan tersebut menjadi relevan saat ini, ketika hijrah sering disalahartikan oleh sebagian kalangan sebagai jihad fisik yang berkaitan dengan penampilan.

Tujuh anggota tubuh yang menjadi titik rawan bagi manusia untuk tergelincir dari ketaatan menuju kemaksiatan adalah mata, telinga, lisan, perut, farji, tangan, dan kaki. Mata, misalnya, dapat digunakan untuk melihat keajaiban ciptaan Allah, tetapi sering kali juga digunakan untuk melihat hal-hal yang tidak bermanfaat atau bahkan merusak. Penggunaan mata yang tidak bijak dapat mengakibatkan seseorang lalai dari ibadah.

Telinga juga memiliki peranan penting. Kita bisa memilih untuk mendengarkan hal-hal yang bermanfaat atau sebaliknya, mendengarkan gosip dan pergunjingan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa pergunjingan adalah dosa yang melibatkan baik penutur maupun pendengar, sebagaimana sabda Nabi Muhammad (SAW) yang menegaskan bahwa si pendengar adalah mitra bagi si penutur dalam pergunjingan.

Lisan, sebagai alat komunikasi, memiliki potensi besar untuk membawa seseorang ke dalam dosa. Dalam sebuah hadis, Nabi Muhammad (SAW) mengingatkan bahwa satu kalimat yang diucapkan bisa menjatuhkan seseorang ke neraka. Oleh karena itu, penting untuk menjaga lisan agar tidak terjerumus ke dalam kebohongan, pergunjingan, atau ucapan yang menyakiti orang lain.

Ulama menjelaskan ada beberapa perilaku yang dapat menjadikan lisan sebagai senjata yang membunuh, seperti berbohong dan menggunjing. Kebohongan, bahkan dalam bercanda, dapat merusak integritas seseorang. Sumpah palsu juga merupakan tanda kemunafikan dan lebih baik berperilaku taat tanpa mengumbar ucapan.

Menggunjing orang lain, terutama jika itu membuat orang lain merasa tidak nyaman, adalah tindakan yang zalim. Sebaliknya, menjaga aib orang lain adalah tindakan yang terpuji. Dalam konteks ini, introspeksi diri sangat penting. Jika kita tidak menemukan aib pada diri kita, itu menunjukkan kebodohan yang merugikan.

Dengan demikian, menjaga diri dari maksiat dan berusaha untuk taat kepada Allah merupakan tanggung jawab setiap individu. Ketaatan dan kesadaran akan amanah yang diberikan Allah harus selalu diutamakan dalam setiap tindakan dan ucapan.

Google Search Widget
Copy Title and Content
Content has been copied.

November 24

Salam 👋

Apakah ada yang bisa kami bantu?