Aktivitas mendidik anak-anak jauh lebih kompleks daripada sekadar mengajarkan mereka membaca dan menulis. Hal ini menjadi perhatian penting bagi Imam Al-Ghazali, yang menekankan bahwa pendidikan anak-anak memerlukan pendekatan yang berbeda dibandingkan dengan pendidikan remaja atau orang dewasa. Dalam pandangannya, ada beberapa adab yang harus diperhatikan oleh para pendidik anak-anak.
Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa pendidik harus mulai dengan memperbaiki diri sendiri, karena anak-anak akan menilai baik buruknya suatu tindakan berdasarkan apa yang mereka lihat dan dengar dari pendidiknya. Oleh karena itu, pendidik perlu menjaga sikap dan perilakunya agar dapat menjadi teladan yang baik. Ia juga menekankan pentingnya menciptakan suasana yang mencekam dalam pendidikan, sehingga anak-anak merasa hormat dan tidak berani bersikap lancang.
Pendidik sebaiknya tidak banyak berbicara atau bercanda di hadapan anak-anak, serta harus menghindari perilaku yang dapat menurunkan wibawanya. Selain itu, pendidik perlu mengajarkan nilai-nilai moral, seperti menjauhi ghibah, dusta, dan adu domba. Mereka juga bertanggung jawab untuk mengenalkan konsep najis, cara bersuci, serta ibadah seperti shalat yang akan menjadi bagian dari rutinitas anak-anak di masa depan.
Meskipun adab yang ditulis oleh Imam Al-Ghazali mungkin tidak sepenuhnya relevan dengan kondisi saat ini, esensi dari ajarannya tetap berlaku. Pendidik dan orang tua memiliki tanggung jawab besar dalam mendidik anak-anak agar menjadi individu yang berakhlak baik dan melek huruf. Pendidikan melalui keteladanan menjadi metode yang paling efektif, meskipun sulit untuk diterapkan.
Dengan demikian, profesi pendidik anak-anak, seperti guru madrasah ibtidaiyah, guru ngaji, dan ustadz di pesantren, memiliki kedudukan yang mulia, setara dengan pendidik remaja atau dewasa. Tanggung jawab yang diemban oleh mereka sangat besar, dan keteladanan yang mereka tunjukkan akan membentuk karakter anak-anak di masa depan.