Manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk menyembah-Nya. Sejak kecil hingga kini, kita berusaha berbuat baik sebagai bentuk pengabdian kepada-Nya. Namun, kita sering kali tidak mengetahui siapa diri kita sebenarnya di sisi Allah. Apakah kita termasuk hamba yang baik atau hamba yang buruk? Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar kita dapat melakukan introspeksi diri.
Syekh Ibnu Athaillah memberikan sebuah hikmah yang dapat menjadi panduan: “Jika ingin tahu kedudukanmu di sisi Allah, lihatlah di mana Dia menempatkanmu.” Frasa “di mana” di sini tidak merujuk pada profesi atau tempat fisik, melainkan pada perilaku kita sehari-hari. Apakah perilaku kita sehari-hari termasuk dalam kategori yang diridhai atau dimurkai oleh-Nya?
Syekh Syarqawi menjelaskan hikmah tersebut dalam dua konteks. Pertama, dalam konteks umum, derajat kita di sisi Allah bergantung pada ketaatan dan kemaksiatan yang kita lakukan. Kedua, dalam konteks kalangan tertentu (khawas), martabat seseorang di sisi Allah ditentukan oleh sejauh mana ia menempati kedudukan muqarrabin (dekat dengan Allah) atau abrar (hamba yang baik). Kebaikan yang dianggap baik oleh kalangan abrar belum tentu bernilai baik bagi kalangan muqarrabin. Oleh karena itu, ada ungkapan di kalangan sufi bahwa “kebaikan abrar adalah keburukan bagi muqarrabin.”
Syekh Syarqawi menegaskan bahwa untuk mengetahui kedudukan kita di sisi Allah, kita perlu mengamati apakah kita termasuk hamba yang diterima dan berbahagia atau hamba yang ditolak dan celaka, berdasarkan perbuatan taat atau maksiat yang kita lakukan. Bagi mereka yang berbahagia, Allah akan menggerakkan mereka kepada ketaatan yang diridhai-Nya. Sebaliknya, orang yang celaka akan digerakkan kepada pelanggaran yang dimurkai oleh-Nya. Dalam konteks khusus, untuk mengetahui derajat kita, kita perlu memeriksa seberapa besar keagungan dan kebesaran Allah yang ada dalam hati kita.
Syekh Ahmad Zarruq juga menjelaskan bahwa harkat seorang hamba di sisi Allah bergantung pada kondisi yang dihadapkan kepada hamba tersebut. Bagaimana cara hamba tersebut melewati kondisi tersebut akan menentukan derajatnya di sisi Allah. Jika Allah mengarahkan kita kepada dunia, itu adalah bentuk kehinaan. Namun, jika kita diarahkan kepada amal saleh, itu adalah pertolongan dari-Nya. Ketika kita dibukakan pintu untuk berdoa dan bermunajat kepada-Nya, itu adalah tanda kedekatan Allah kepada kita. Jika kita ridha dengan keputusan Allah, Dia akan membuka pintu keridhaan-Nya, yang merupakan pintu paling agung dan utama.
Penting untuk diingat bahwa penilaian ini sebaiknya hanya digunakan untuk mengukur diri sendiri, bukan untuk menilai orang lain. Menilai orang lain dapat menimbulkan ujub (bangga diri) dan takabbur (kesombongan), yang merupakan larangan Allah. Hikmah ini mendorong kita untuk terus memperbaiki diri dan memohon bimbingan Allah agar selalu berada di jalan yang diridhai-Nya. Wallahu a’lam.