Setiap individu memiliki kesempatan untuk melaksanakan berbagai ibadah, seperti shalat sunah, sedekah, puasa sunah, umrah, zikir, shalawat, serta berbakti kepada orang tua dan membantu mereka yang membutuhkan. Namun, penting bagi kita untuk memperhatikan status penerimaan amal ibadah tersebut di sisi Allah. Hal ini diungkapkan oleh Syekh Ibnu Athaillah dalam hikmahnya yang menyatakan bahwa tidak ada amal yang lebih diharapkan untuk diterima selain amal yang lenyap dari pandangan kita dan dianggap sepele.
Syekh Ibnu Abbad juga menekankan pentingnya melupakan amal yang telah kita lakukan. Ia berpendapat bahwa dengan melupakan amal tersebut, amal itu akan dapat naik ke langit. Sebaliknya, amal yang selalu teringat dan disebut-sebut akan tetap terjebak di bumi, sehingga tidak dapat diterima oleh Allah. Ali bin Husein (RA) menambahkan bahwa segala amal yang masih terhubung dengan pandangan kita menjadi tanda penolakan atas amal tersebut. Penerimaan amal adalah sesuatu yang diangkat dan lenyap dari ingatan kita. Jika amal itu masih diingat, maka amal tersebut tidak akan dapat naik ke hadirat-Nya.
Jika menghilangkan ingatan atas amal terasa sulit, Syekh Zarruq (RA) menyarankan agar kita memandang amal kita dengan penuh kekurangan. Ia menganjurkan untuk melepaskan keterikatan kita pada amal tersebut, karena pada dasarnya amal itu bukan milik kita. Amal itu muncul dari diri kita karena Allah memberikan taufiq kepada kita.
Hikmah ini mengajarkan banyak hal, termasuk pentingnya tidak bersikap takabbur terhadap amal ibadah yang telah kita lakukan. Kita juga diingatkan untuk tidak merasa puas dengan amal ibadah kita, karena pada hakikatnya, amal tersebut selalu memiliki kekurangan. Selain itu, kita didorong untuk menyadari bahwa amal yang kita lakukan merupakan anugerah dari Allah, yang memberikan taufiq kepada kita. Semua ini adalah cara agar amal ibadah yang kita laksanakan diterima oleh Allah SWT. Wallahu a’lam.