Penyesalan dan kesedihan atas amal ibadah yang terlewat seharusnya diiringi dengan upaya untuk memperbaiki diri dan memanfaatkan setiap kesempatan untuk berbuat baik. Tanpa adanya usaha untuk mengejar ketertinggalan, penyesalan tersebut hanya akan menjadi kata-kata kosong. Syekh Ibnu Athaillah menyatakan dalam hikmahnya bahwa “Kesedihan atas ketertinggalan kebaikan tanpa disertai gerakan perbaikan adalah salah satu tanda terpedaya.”
Penyesalan yang tidak disertai dengan tindakan nyata untuk memperbaiki diri hanya akan berakhir menjadi air mata yang tidak berarti. Syekh Syaqawi juga menekankan hal ini dengan menyatakan bahwa kesedihan tanpa usaha untuk bangkit dari ketertinggalan adalah tanda ketepadaan.
Syekh Ibnu Abbad menegaskan bahwa banyaknya air mata semu dan penyesalan yang tidak membuahkan hasil hanya akan membuat penyesalan tersebut sia-sia. Ia memotivasi mereka yang mau berusaha untuk mengejar ketertinggalan dalam ibadah, karena mereka dapat menempuh jalan lebih cepat dibandingkan dengan mereka yang hanya meratapi tanpa berbuat apa-apa.
Dalam pandangannya, kesedihan yang tidak disertai dengan tindakan nyata hanya akan menjadi kesedihan yang palsu. Syekh Abu Ali Ad-Daqqaq juga menambahkan bahwa orang yang bersedih dan berusaha mendekatkan diri kepada Allah SWT dalam waktu singkat dapat menempuh perjalanan spiritual yang lebih jauh dibandingkan dengan mereka yang tidak merasakan kesedihan tersebut.
Rasulullah (SAW) sendiri adalah sosok yang selalu bersedih dan merenung, menandakan bahwa kesedihan yang disertai dengan kesadaran akan pentingnya ibadah adalah sesuatu yang dicintai oleh Allah SWT. Hikmah ini menjadi motivasi bagi mereka yang merasa kehilangan kesempatan untuk beribadah agar segera membenahi diri, sekaligus mengingatkan mereka yang hanya meratapi kesalahan tanpa berupaya untuk berubah. Wallahu a‘lam.