Pengalaman batin sering kali muncul saat seseorang berada dalam situasi genting, di mana kebutuhan mereka kepada Allah semakin mendalam. Dalam momen-momen kritis ini, banyak orang merasakan kedekatan yang lebih kuat dengan Allah dibandingkan saat menjalani ibadah formal seperti shalat, puasa, zakat, atau haji. Hal ini diungkapkan oleh Syekh Ibnu Athaillah (RA) dalam hikmah yang menyatakan bahwa kadang kita menemukan keistimewaan dalam keadaan hajat-kritis yang tidak kita peroleh saat melaksanakan shalat dan puasa.

Syekh Ibrahim Al-Aqshara’i As-Syadzili menjelaskan bahwa manusia memiliki dua kewajiban terhadap Allah: kewajiban umum dan khusus. Kewajiban umum mencakup amal ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan haji, sementara kewajiban khusus adalah pengakuan akan kefakiran kita di hadapan-Nya, menyadari bahwa kita bukanlah apa-apa saat menjalani ibadah-ibadah tersebut. Dalam pandangannya, Allah memiliki dua tuntutan bagi manusia, di mana tuntutan khusus berfokus pada kesadaran akan kondisi hajat-kritis dan amal-amal yang terkait dengan kita, sehingga kita dapat menyaksikan penampakan asma dan sifat Allah.

Syekh Ibnu Abbad menambahkan penjelasan mengenai mengapa perasaan dekat dengan Allah lebih sering muncul dalam keadaan genting. Ia berpendapat bahwa ibadah formal seperti shalat dan puasa sering kali dapat terpengaruh oleh nafsu dan syahwat, yang menghalangi pandangan batin kita terhadap kehadiran dan peran Allah dalam setiap ibadah yang kita lakukan. Dalam kondisi hajat-kritis, individu dapat merasakan kebersihan hati dan kesucian batin yang lebih mendalam, yang mungkin tidak dirasakan saat menjalankan ibadah formal.

Hikmah ini tidak berarti menganjurkan untuk mengurangi amal ibadah, melainkan menegaskan bahwa kedekatan kepada Allah dapat meningkat dalam situasi yang penuh tekanan dan hajat, di luar konteks ibadah formal. Hal ini menunjukkan bahwa Allah selalu hadir dan mendengarkan hamba-Nya, terutama dalam kondisi yang paling membutuhkan pertolongan-Nya. Wallahu a‘lam.