Ibadah seharusnya dipahami sebagai bentuk penyerahan, kedhaifan, dan kefakiran manusia di hadapan Allah. Namun, ketika ibadah membuat pelakunya merasa ujub dan angkuh terhadap orang lain yang tidak mengamalkannya, maka ibadah tersebut menjadi tercela. Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Athaillah dalam hikmahnya, “Sebuah maksiat yang berbuah kerendahan diri dan kefakiran (di hadapan Allah) lebih baik daripada amal ibadah yang melahirkan kebanggaan dan keangkuhan.” Hikmah ini menegaskan bahwa manusia tidak boleh jauh dari sifat kerendahan dan kefakirannya di hadapan Allah. Ketaatan seseorang bukanlah alasan untuk bersikap angkuh dan merasa suci.
Syekh Ibnu Abbad menjelaskan bahwa kerendahan diri dan kefakiran merupakan sifat kehambaan, sedangkan kebanggaan dan keangkuhan bertolak belakang dengan sifat tersebut. Ketaatan yang disertai dengan sifat-sifat yang bertentangan dengan kehambaan dapat mengugurkan dan membatalkan amal itu sendiri. Di sisi lain, maksiat yang disertai dengan sifat kehambaan tidak menghilangkan kadar kesalahan maksiat tersebut. Syekh Abu Madyan menegaskan bahwa kerendahan diri pelaku maksiat lebih baik daripada kewibawaan orang yang beramal saleh.
Syekh Ibnu Ajibah mengaitkan hal ini dengan sabda Rasulullah Muhammad (SAW) yang menyatakan bahwa Allah tidak memandang rupa dan amal manusia, tetapi hati mereka. Ini menunjukkan bahwa inti dari hubungan manusia dengan Allah adalah adab, di mana manusia dituntut untuk beradab dengan baik di hadapan-Nya. Allah akan murka jika manusia melakukan su’ul adab kepada-Nya.
Sebuah maksiat yang membuahkan kerendahan diri lebih utama dibandingkan ketaatan ibadah yang memicu keangkuhan. Tujuan hakiki dari amal ibadah adalah ketundukan, penyerahan, dan kerendahan diri. Jika sebuah ibadah tidak mengandung makna kehambaan dan justru melahirkan sifat ketuhanan, maka maksiat yang membuahkan makna kehambaan lebih utama. Yang menjadi ukuran bukanlah bentuk lahiriah dari ibadah atau maksiat, tetapi hasil atau buah dari keduanya.
Syekh Abul Abbas Al-Mursi menegaskan bahwa setiap su’ul adab yang berbuah adab tidak bisa disebut sebagai su’ul adab. Ia juga mengingatkan agar para hamba Allah yang terperosok dalam dosa untuk selalu melihat keluasan rahmat-Nya. Dalam konteks ini, Syekh Ahmad Zarruq menjelaskan bahwa idealnya manusia taat kepada Allah baik lahir maupun batin. Ketaatan lahir tidak menjamin ketaatan batin.
Singkatnya, Allah menuntut manusia untuk berserah diri, menyatakan kedhaifan dan kefakiran melalui amal ibadah baik lahir maupun batin. Hikmah ini bukanlah anjuran untuk berbuat maksiat, melainkan penekanan pada pentingnya menjaga husnul adab di hadapan-Nya dengan sifat kerendahan diri dan kefakiran. Ibadah tidak hanya mengandung formalitas, tetapi juga harus mempertimbangkan substansinya. Bahaya ujub harus dihindari, agar tidak memandang orang lain dengan rendah dan merasa lebih baik dari mereka yang juga berusaha menaati perintah Allah.