Ketika manusia melanggar larangan Allah SWT atau meninggalkan perintah-Nya, mereka tentu membutuhkan kemurahan, ampunan, dan kasih sayang-Nya. Namun, hal yang menarik adalah bahwa manusia justru lebih membutuhkan kemurahan-Nya ketika mereka berada dalam ketaatan kepada-Nya. Pemikiran ini diungkapkan oleh Ibnu Athaillah dalam karya beliau, Al-Hikam, yang menyatakan, “Kau lebih membutuhkan kemurahan-Nya ketika taat dibandingkan saat kau bermaksiat.”
Pertanyaan yang muncul adalah, mengapa demikian? Rasulullah (SAW) senantiasa beristighfar setelah melaksanakan shalat, bukan setelah melakukan maksiat. Para ulama pun mengkaji hikmah di balik kebiasaan ini dan menyimpulkan bahwa ibadah yang dilakukan tidak pernah sempurna. Oleh karena itu, kita perlu meminta kemurahan-Nya untuk menutupi kekurangan dalam ibadah kita.
Lebih lanjut, penting untuk diingat bahwa mereka yang beribadah tidak lebih istimewa dari yang tidak. Ibadah yang dilakukan adalah hasil dari taufiq, yang merupakan anugerah dari Allah SWT. Seringkali, ada orang yang merasa lebih unggul dibandingkan orang lain saat beribadah, dan dari sinilah muncul sikap ujub yang perlu diwaspadai.
Ibnu Athaillah juga mengingatkan bahwa dalam ketaatan, seseorang sering merasa aman dan dapat terjebak dalam kelalaian terhadap tipu daya nafsu yang menyelinap dalam berbagai bentuk ketaatan. Ini bisa membuat ketaatan berlangsung tanpa disadari, sementara nafsu tersembunyi di dalamnya. Oleh karena itu, kita lebih membutuhkan kemurahan, ampunan, dan perlindungan-Nya di saat taat karena kurangnya ketelitian dalam ketaatan dibandingkan saat kita bermaksiat, di mana nafsu tidak menyelinap.
Hikmah yang disampaikan oleh Ibnu Athaillah bukanlah untuk mendorong orang berhenti atau mengurangi ibadah, apalagi bermaksiat, melainkan untuk mengingatkan agar lebih waspada. Mereka yang giat beribadah perlu menyadari adanya benih-benih nafsu yang tak terlihat dalam amal mereka. Wallahu a‘lam.