Sesuatu yang selalu dicari manusia setiap hari adalah kenikmatan dan kebahagiaan hidup. Demi meraihnya, orang-orang dengan sukarela melakukan berbagai rutinitas dan kegiatan. Namun, ketika kebahagiaan tersebut berhasil diraih, tidak jarang ia menghilang bahkan berubah menjadi kesedihan.
Berkaitan dengan kebahagiaan, Imam Al-Ghazali dalam kitab Kimiya’us Sa‘adah menyatakan bahwa kebahagiaan dapat diraih ketika anggota tubuh berinteraksi dengan sesuatu yang “satu frekuensi” dengannya. Ia menjelaskan:
فلذة العين في الصور الحسنة، ولذة الأذن في الأصوات الطيبة، وكذلك سائر الجوارح بهذه الصفة
Artinya, “Kebahagiaan mata terletak pada melihat pemandangan yang indah, kebahagiaan telinga berada pada mendengarkan suara-suara merdu, begitu pula anggota tubuh lainnya.”
Imam Al-Ghazali juga menekankan pentingnya hati dalam merasakan kebahagiaan. Hati akan merasakan kebahagiaan ketika berkenalan dengan sesuatu yang “satu frekuensi” dengannya, yaitu ma’rifatullah (mengetahui Allah). Hati diciptakan untuk itu.
Ia mengumpamakan bahwa seseorang yang belum memahami permainan catur atau aplikasi game zaman sekarang akan merasa biasa saja. Namun, setelah mengerti sistem dan pola permainan, orang tersebut akan merasa bahagia dan menikmati pengalaman tersebut. Demikian pula dengan hati; ketika hati belum ma’rifat, ia mungkin akan memandang Allah dan ajaran-Nya dengan biasa saja. Namun setelah ma’rifatullah tercapai, hati akan merasakan kenikmatan dan kebahagiaan yang mendalam serta keinginan untuk selalu dekat dengan-Nya. Inilah kebahagiaan sejati yang tidak terpengaruh oleh dinamika kehidupan di dunia.
Imam Al-Ghazali melanjutkan bahwa kebahagiaan yang diperoleh dari melihat sesuatu yang indah, mendengar suara merdu, atau mencium aroma wangi adalah bersifat sementara dan pada akhirnya akan sirna, terutama saat kematian datang. Sebaliknya, kebahagiaan hati ketika ma’rifat akan berlangsung lama dan tidak terganggu oleh kematian. Justru, kebahagiaan itu akan semakin meningkat saat ajal tiba karena kematian menjadi pintu gerbang untuk bertemu langsung dengan-Nya.
Untuk meraih ma’rifat, Imam Al-Ghazali menyebutkan langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali diri sendiri beserta instrumennya. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam surat Fushshilat ayat 53:
سَنُرِيْهِمْ اٰيٰتِنَا فِى الْاٰفَاقِ وَفِيْٓ اَنْفُسِهِمْ حَتّٰى يَتَبَيَّنَ لَهُمْ اَنَّهُ الْحَقُّۗ
Artinya: “Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kebesaran) Kami di segenap penjuru dan pada diri mereka sendiri sehingga jelaslah bagi mereka bahwa (Al-Qur’an) itu adalah benar.”
Imam Al-Ghazali juga mengutip perkataan terkenal yang bermakna dalam bagi seorang hamba Allah:
مَنْ عَرَفَ نَفْسَهُ فَقَدْ عَرَفَ رَبَّهُ
Artinya: “Siapa saja yang mengenal dirinya, sungguh ia telah mengenal Tuhannya.”
Maksud dari “mengenal” di sini bukanlah mengenai organ tubuh fisik seperti kaki, tangan, mata, atau telinga, tetapi lebih dari itu—seorang salik harus mengenali dimensi batin dalam dirinya. Imam Al-Ghazali menjelaskan bahwa dalam batin manusia terdapat berbagai sifat: sifat binatang, sifat hewan buas, sifat setan, dan sifat malaikat.
Ia menerangkan bahwa sifat-sifat tersebut memiliki selera bahagia yang berbeda. Kebahagiaan binatang terletak pada makan, minum, tidur, dan bersetubuh; kebahagiaan hewan buas muncul dari berkelahi dan menyerang; sedangkan kebahagiaan setan berasal dari tipu daya dan kejahatan. Semua karakter ini ada dalam diri manusia. Imam Al-Ghazali menyindir bahwa jika kita termasuk golongan binatang, hewan buas, atau setan, maka perbanyaklah perilaku tersebut. Namun, perlu diingat bahwa kebahagiaan seperti itu bersifat sementara dan dapat merugikan kita baik di dunia maupun di akhirat.
Sebaliknya, kebahagiaan malaikat terletak pada menyaksikan keindahan Tuhan. Malaikat sepenuhnya terbebas dari karakter binatang maupun setan. Oleh karena itu, untuk menonjolkan karakter malaikat dalam diri seseorang adalah dengan mengendalikan hawa nafsu serta karakter binatang dan setan yang ada di dalam dirinya.
Dengan demikian, kebahagiaan sejati menurut Imam Al-Ghazali adalah ketika seseorang mampu mencapai ma’rifatullah. Hal ini dapat diraih dengan cara mengendalikan hawa nafsu dan menurunkan karakter binatang serta setan dalam dirinya. Ketika kondisi tersebut tercapai, hati dapat terkoneksi dengan “wifi semesta” yang pada akhirnya memungkinkan seseorang untuk menyaksikan keindahan Allah. Wallahu a‘lam.