Maulana Jalaluddin Rumi adalah seorang sufi besar, penyair terkenal, dan seorang bijak kelahiran Balkhi, Afghanistan pada tahun 604 H/1207 M dan wafat di Konya, Turki pada tahun 672 H/1273 M. Sekitar 760 tahun yang lalu, ia menulis sebuah karya berjudul Fihi Ma Fihi. Dalam pasal ke-55 buku tersebut, Rumi menyampaikan pesan yang mendalam:
“Cintailah semua orang, niscaya kamu akan selalu berada di antara bunga mawar dan taman-taman surgawi. Jika kau membenci semua orang, maka bayang musuh selalu berada di depan matamu, seakan-akan kau berputar-putar siang dan malam di antara tanaman-tanaman duri dan kumpulan ular yang siap menerkam.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa cinta adalah satu-satunya cara yang paling efektif untuk mengubah hiruk-pikuk kehidupan menjadi alunan musik, kegilaan menjadi sebuah tarian, dan beban penghambaan menjadi ibadah yang menyenangkan. Dengan cinta, perbedaan di antara umat manusia dapat diterima dengan lapang dada, sehingga cinta mampu mengubah perbedaan menjadi persatuan.
Memahami perbedaan di antara kita sebagai karakteristik penciptaan yang telah dikehendaki oleh Allah SWT sangatlah penting. Perbedaan tersebut tidak muncul tanpa tujuan. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur’an:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَىٰ وَجَعَلۡنَٰكُمۡ شُعُوباً وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓاْۚ إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
Artinya, “Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya, yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.” (QS Al-Hujurat: 13).
Dalam ayat ini, Allah SWT menjelaskan tujuan di balik penciptaan manusia yang beragam. Perbedaan dalam bahasa, warna kulit, budaya, serta keyakinan dan agama adalah untuk mendorong kita saling mengenal dan memahami satu sama lain. Proses saling mengenal ini merupakan hal fundamental dalam menjaga kerukunan hidup dalam masyarakat yang beragam.
Imam Ibrahim bin Sari bin Sahl, dikenal sebagai Abu Ishaq az-Zajjaj, dalam karyanya Ma’anil Qur’an wa I’rabuhu menafsirkan bagian kedua dari surat Al-Hujurat (13). Ia menjelaskan bahwa Allah tidak menjadikan manusia berbangsa-bangsa dan bersuku-suku untuk saling menyombongkan diri, melainkan agar kita saling mengenal dan mengerti satu sama lain. Dengan demikian, derajat tertinggi di sisi Allah adalah mereka yang paling bertakwa.
Dalam konteks kesetaraan di hadapan Allah SWT, Nabi Muhammad (SAW) juga menegaskan dalam khutbahnya:
حَدَّثَنِي مَنْ سَمِعَ خُطْبَةَ النَّبِيِّ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – فِي أَوْسَطِ أَيَّامِ التَّشْرِيقِ، فَقَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ أَلَا إنَّ رَبّكُمْ وَاحِدٌ وَإِنَّ أَبَاكُمْ وَاحِدٌ أَلَا لَا فَضْلَ لِعَرَبِيٍّ عَلَى عَجَمِيٍّ، وَلَا لِعَجَمِيٍّ عَلَى عَرَبِيٍّ، وَلَا لِأَحْمَرَ عَلَى أَسْوَدَ، وَلَا لِأَسْوَدَ عَلَى أَحْمَرَ إلَّا بِالتَّقْوَى. أَبَلَّغْتُ؟ قَالُوا: بَلَّغَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
Artinya, “Aku diceritakan oleh orang yang mendengar langsung khutbah Rasulullah (SAW) di pertengahan hari-hari tasyrik: ‘Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kalian sama, dan leluhur kalian juga sama. Sekali lagi, tidak ada kelebihan orang Arab atas orang non-Arab dan tidak ada kelebihan orang non-Arab atas orang Arab. Tidak ada kelebihan kulit putih atas kulit hitam dan tidak ada kelebihan kulit hitam atas kulit putih, kecuali karena ketakwaannya.’ Apakah aku telah menyampaikannya dengan jelas?” Para sahabat menjawab, “Benar, engkau telah menyampaikannya.”
Dari paparan tersebut terlihat bahwa tidak ada kemuliaan di hadapan Allah SWT selain karena ketakwaan. Oleh karena itu, perbedaan mengenai kelebihan dan kekurangan, kekayaan dan kemiskinan, bahkan keimanan dan kemusyrikan seharusnya tidak memicu kebanggaan diri, caci maki, atau saling berebut kebenaran dalam masyarakat kita.
Menerima perbedaan adalah bentuk cinta dan ketakwaan yang sejati. Wallahu a’lam.