Prediksi waktu terjadinya kiamat oleh segelintir orang di berbagai masa sering kali berakhir dengan kegagalan. Sejarah mencatat bahwa pemuka agama hingga ilmuwan kerap meramalkan kiamat, seperti prediksi suku Maya pada tahun 2012 dan ramalan ilmuwan India baru-baru ini yang terbukti keliru.
Menurut Britannica, berbagai ramalan mengenai kiamat menggambarkan kehancuran bumi akibat berbagai bencana, seperti banjir, jatuhnya komet, dan kebakaran besar. Tanda-tanda ini mirip dengan deskripsi kiamat dalam Islam. Dalam hadits yang tercantum dalam Shahih Muslim, Nabi Muhammad (SAW) memberikan rincian tentang tanda-tanda kiamat. Dalam hadits tersebut, Nabi Muhammad (SAW) menyebutkan sepuluh tanda yang akan muncul sebelum kiamat, termasuk kabut, Dajjal, binatang, terbitnya matahari dari barat, turunnya Isa bin Maryam (AS), Ya’juj dan Ma’juj, serta tiga gerhana.
Hadits ini memaparkan tanda-tanda kiamat secara spesifik, meskipun masih belum jelas apakah peristiwa tersebut bermakna literal atau metaforis. Masing-masing tanda mungkin memiliki eksistensi yang tidak dapat diukur secara empiris.
Menarik untuk dicermati bahwa ramalan mengenai kehancuran dunia sering kali memiliki motif yang perlu diselidiki lebih lanjut, serta implikasi sikap manusia terhadap prediksi tersebut. Sebagai contoh, terdapat teori Degradasi Lingkungan Himalaya yang meramalkan kehancuran lingkungan pada akhir milenium lalu, yang berpotensi mengancam jutaan orang. Meskipun demikian, teori tersebut tidak menjadi kenyataan. Profesor Tor H Aase dari University of Bergen, Norwegia, mencatat bahwa hutan di Nepal justru semakin rimbun sejak pertama kali dihuni. Antara tahun 1978 hingga 1992, kegiatan kehutanan masyarakat di dataran rendah menunjukkan dampak positif terhadap hutan lokal dan stabilitas penggunaan lahan.
Aase berpendapat bahwa mungkin saja teori kiamat yang diciptakan memiliki motif politis, yaitu untuk mendorong masyarakat setempat bersatu dalam membangun lingkungan yang lebih aman, sehingga ramalan tersebut tidak terwujud.
Dalam konteks ini, contoh dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan yang merupakan pendiri dinasti pertama setelah kepemimpinan Khulafaur Rasyidin sangat relevan. Meskipun sudah lanjut usia, Mu’awiyah tetap berusaha melakukan hal yang bermanfaat untuk generasi selanjutnya dengan menanam kurma. Ketika ditanya tentang tindakannya, ia menjelaskan bahwa ia menanam pohon tersebut tanpa berharap untuk memanennya, melainkan terinspirasi dari ajaran bahwa seseorang seharusnya bermanfaat dan meninggalkan jejak positif di bumi.
Menanam pohon kurma membutuhkan waktu bertahun-tahun untuk dapat dipanen. Ini mengisyaratkan bahwa kesadaran akan pentingnya produktivitas dan keinginan untuk memberikan manfaat kepada generasi mendatang harus tetap ada. Dalam hadits yang diriwayatkan Ahmad, Rasulullah (SAW) menekankan pentingnya terus beramal meskipun tanda-tanda kiamat sudah mulai terlihat.
Rasulullah (SAW) bersabda bahwa jika kiamat telah tiba dan seseorang masih memegang bibit pohon, maka sebaiknya ia menanamnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun situasi tampak genting, sikap produktif tetap harus dijaga. Dengan kata lain, tanda-tanda kiamat tidak datang sekaligus melainkan berproses; maka anjuran untuk terus beramal baik dan bermanfaat harus tetap berlangsung.
Lebih lanjut, Musa Syahin Lasyin menjelaskan bahwa tindakan menanam pohon bukan hanya untuk kepentingan diri sendiri tetapi juga untuk kepentingan anak dan cucu di masa depan. Ketika seseorang menanam pohon kurma hari ini, mungkin ia tidak akan menikmati hasilnya secara langsung, namun generasi berikutnya akan merasakan manfaat dari usaha tersebut.
Kesimpulannya, ramalan mengenai kiamat sering kali mencerminkan ketidakpastian. Yang terpenting adalah bagaimana manusia merespons isu ini dengan cara yang produktif dan bermanfaat. Mengacu pada paparan hadits Nabi Muhammad (SAW), jelas bahwa produktivitas beramal dan berbuat baik untuk generasi selanjutnya adalah bentuk persiapan terbaik dalam menghadapi masa depan yang tidak pasti.