Kebahagiaan merupakan unsur penting dalam kehidupan. Setiap manusia tentu mendambakan kebahagiaan dan menganggapnya sebagai puncak dari tujuan hidup. Ketika seseorang meraih kebahagiaan, seakan tidak ada keinginan lain yang mengganggu.
Namun, meraih dan memahami kebahagiaan tidaklah semudah yang dibayangkan. Banyak pertanyaan muncul mengenai hakikat kebahagiaan, persyaratan, dan jalan untuk meraihnya. Pertanyaan-pertanyaan ini sering menjadi perbincangan serius di kalangan filsuf dan agamawan.
Dalam menghadapi tema yang menarik ini, banyak ilmuwan, filsuf, dan agamawan yang merumuskan pandangan tentang kebahagiaan. Di antaranya adalah Plato, Al-Farabi, dan Hujjatul Islam Al-Ghazali yang memberikan kontribusi pemikiran mengenai kebahagiaan.
Tulisan ini akan mengulas pemikiran Hujjatul Islam Al-Ghazali tentang kebahagiaan. Al-Ghazali memiliki cara pandang dan filosofi yang khas, terutama dalam tradisi filsafat Islam. Pandangannya tentang kebahagiaan banyak tertuang dalam beberapa kitab, seperti Mizanul Amal, Kimiyaus Sa’adah, dan Ihya’ Ulumiddin. Fokus tulisan ini adalah pada Mizanul Amal.
Mendefinisikan kebahagiaan bukanlah hal yang mudah karena setiap orang memiliki perspektif dan penghayatan yang berbeda. Ada yang beranggapan bahwa kebahagiaan terkait dengan kekayaan, sementara yang lain percaya bahwa kesehatan dan kesejahteraan adalah kunci kebahagiaan.
Hujjatul Islam Al-Ghazali dalam Mizanul Amal berpendapat bahwa kebahagiaan hakiki adalah kebahagiaan ukhrawi. Menurutnya, kebahagiaan ini lebih abadi dan merupakan kenikmatan tanpa batas. Sementara kenikmatan duniawi, seperti harta dan kesehatan, bersifat sementara dan mudah hilang. Dalam satu situasi, seseorang mungkin merasakan kenikmatan, tetapi dalam situasi lain, ia bisa merasakan sebaliknya. Kenikmatan duniawi ini dianggap tidak sejati karena sifatnya yang mudah lenyap.
Namun, hal ini tidak berarti bahwa kenikmatan duniawi tidak penting. Al-Ghazali menyatakan bahwa kenikmatan duniawi juga memiliki peran dalam mengantarkan seseorang menuju kenikmatan ukhrawi. Sebagai contoh, jika tubuh sehat dan kuat, seseorang akan mampu melaksanakan ibadah dengan baik.
Imam Al-Ghazali mengatakan:
إعلم أن السعادة الحقيقية هي الأخروية، وما عداها سميت سعادة إما مجازا أو غلطا، كالسعادة الدنيوية التي لا تعين على الآخرة، وإما صدقا لكن الاسم على الأخروية أصدق، وذلك كل ما يوصل إلى السعادة الأخروية ويعين عليه، فإن الموصل إلى الخير والسعادة قد يسمى خيرا وسعادة
Artinya: “Ketahuilah, bahwa kebahagiaan sejati adalah kebahagiaan ukhrawi. Selain itu ada kalanya kebahagiaan hanya sebagai metafora atau kebahagiaan yang salah seperti kebahagiaan duniawi yang tidak menolong kebahagiaan akhirat. Atau kebahagiaan sejati, tetapi kebahagiaan akhirat lebih sejati, yaitu setiap hal yang menyampaikan kepada kebahagiaan ukhrawi. Karena sesuatu yang menyampaikan pada kebaikan dan kebahagiaan disebut dengan kebaikan dan kebahagiaan pula.” (Al-Ghazali, Mizanul Amal, [Beirut, Darul Minhaj: 2023], halaman 146).
Menurut Al-Ghazali, meraih kebahagiaan sebenarnya cukup mudah karena semua fasilitas dan kenikmatan telah Allah SWT berikan tanpa terhitung jumlahnya. Namun, semua kenikmatan memiliki levelnya. Level paling utama adalah kenikmatan ukhrawi, yaitu kenikmatan di surga yang bersifat kekal dan tanpa batas.
Akan tetapi, kenikmatan ukhrawi tidak dapat dicapai tanpa terlebih dahulu mencapai kenikmatan jiwa atau keutamaan nafsiyah. Ada empat nikmat keutamaan jiwa menurut Al-Ghazali:
- Nikmat akal yang disempurnakan dengan ilmu. Akal merupakan bagian dari jiwa. Ketika akal mendapatkan ilmu, jiwa akan merasa tenang.
- Nikmat kepribadian yang disempurnakan dengan sikap wara’. Wara’ adalah menjaga diri dari hal-hal yang haram dan maksiat. Hidup sesuai aturan syariat akan membawa ketenangan jiwa.
- Kesungguhan dan keberanian dalam hidup. Memiliki cita-cita dan target akan mendorong jiwa untuk berkembang.
- Keadilan dalam hidup secara proporsional baik di level fisik maupun rohani. Memenuhi semua komponen ini akan membawa ketenangan jiwa.
Ketenangan jiwa tidak akan sempurna tanpa adanya kenikmatan badaniyah yang terdiri dari kesehatan, kekuatan badan, keelokan, dan panjang umur. Jiwa akan sulit tenang jika nikmat badaniyah tidak terpenuhi.
Al-Ghazali juga menjelaskan bahwa untuk mencapai nikmat badaniyah diperlukan kenikmatan eksternal, seperti harta, keluarga, kemuliaan, dan kehormatan. Mencari harta dan kehormatan tidak selalu buruk selama itu menjadi penopang bagi kebahagiaan ukhrawi.
Dari kenikmatan eksternal inilah seseorang merasa nikmat secara fisik, yang pada gilirannya akan membawa ketenangan jiwa dan akhirnya mendapatkan kenikmatan ukhrawi.
Namun, menurut Al-Ghazali, kunci segala kenikmatan adalah kenikmatan taufiq, berupa hidayah Allah SWT, ridha-Nya, petunjuk, dan pertolongan-Nya. Menjalani kehidupan tanpa berbekal taufiq hanya akan membuat hidup terasa sengsara dan sulit merasakan kebahagiaan sejati. Kenikmatan yang dirasakan pun hanya bersifat sementara.
Dari penjelasan di atas, terdapat lima macam kenikmatan menurut Al-Ghazali: (1) kenikmatan ukhrawi, (2) kenikmatan jiwa, (3) kenikmatan badan, (4) kenikmatan eksternal, dan (5) kenikmatan taufiq berupa hidayah dan pertolongan Allah SWT. Lima kenikmatan tersebut saling membutuhkan untuk mencapai kebahagiaan sejati.
فقد عرفت أن هذه الخرات خمسة وهي الأخروية والنفسية والبدنية والخارجة والتوفيقية وبعضها يحتاج من بعض
Artinya: “Kalian telah tahu bahwa keutamaan dan kebahagiaan ada lima, yaitu keutamaan ukhrawi, keutamaan nafsiyah, keutamaan badan, keutamaan eksternal, dan keutamaan taufiq. Sebagiannya membutuhkan pada sebagian yang lain.” (Al-Ghazali, 137).
Demikianlah konsep kebahagiaan menurut Imam Al-Ghazali.